Seandainya aku Muhammad yang di-Isra’ Mi’raj-kan itu, maka demi Allah aku tidak akan mau dikembalikan lagi ke bumi.
Begitulah ungkapan dari penyair muslim, Muhammad Iqbal, yang menggambarkan betapa cintanya Nabi Muhammad dengan umatnya. Tatkala sampai di langit, saat berjumpa dengan Tuhan, beliau masih mau kembali lagi ke bumi berjuang demi umatnya.
Bila dipandang dari kisah perjalanan, Isra’ Mi’raj merupakan kisah dahsyat dan mencengangkan, yang sampai sekarang masih membuat dunia ilmu pengetahuan dan teknologi tetap penasaran.
Ketika menafsirkan surat Al-Isra ayat 1, M. Quraish Shihab menerangkan pada Tafsir Al-Mishbah bahwa kata subhana (artinya maha suci) biasa digunakan untuk menunjukkan keheranan atau keajaiban terhadap sesuatu.
Agaknya, dalam konteks ayat ini –karena tidak ada sesuatu yang mengherankan sebelumnya— ia mengisyaratkan apa yang disebut sesudahnya yaitu peristiwa Isra’-nya Nabi Muhammad Saw. Ia adalah suatu peristiwa yang menakjubkan dan mengherankan bagi mitra bicara karena terjadinya sangat di luar kebiasaan yang selama ini dikenal manusia.
Dengan didampingi oleh Malaikat Jibril, Rasul berkisah mengenai perjalanannya dari Mekkah menuju Baitul Maqdis, Palestina, yang dikenal dengan Isra. Kemudian disambung lagi ke langit di Sidratul Muntaha (Mi’raj), dan berhadapan langsung dengan Allah Yang Mahaagung. Tidak seorang pun nabi-nabi sebelumnya yang memiliki kemewahan seperti ini kecuali Rasulullah saw. Dan itu hanya dilakukan semalam, tak lebih usai Rasul bersalat Isya dan saat menjelang Subuh, beliau sudah sampai kembali Mekkah lalu mengimami shalat berjamaah.
Lalu pada siang harinya, Rasul siap menyampaikan berita itu kepada kaum Quraisy. Begitulah riwayat yang disampaikan oleh Ummu Hani, saudari sepupunya, putri Abu Thalib.
Ummu Hani bahkan mencegah agar Rasul tidak mengisahkan peristiwa yang tak akan mampu ditangkap akal manusia biasa itu, kecuali beliau akan dijadikan bahan ejekan lebih jauh lagi. Namun Nabi Muhammad adalah Rasul utusan Allah, tugasnya memang harus menyampaikan, apapun risikonya berita Ilahi harus disyiarkan.
Berbagai hadis menjelaskan mengenai perjalanan ini. Kaum filsuf, mistikus (kaum sufi), agamawan, hingga saintis (ilmuwan) tiada habis pula mereguk inspirasi perjalanan Nabi yang luar biasa ini.
Berapa kecepatan Buraq, makhluk tunggangan Nabi Muhammad yang digambarkan tak lebih besar dari baghal (sejenis keledai), saat mengarungi angkasa raya, ketika cahaya yang paling cepat saja kemampuannya 300 ribu km/detik? Adakah makhluk relatif lamban seperti manusia bisa melebihi kecepatan cahaya tanpa dirinya terbakar habis?
Di manakah batas langit manakala ada sebuah teori menyatakan bahwa angkasa raya ini mengembang secara berkelanjutan?
Dalam logika manusia modern saja amat berat mencerna kejadian luar biasa itu, apalagi bagi bangsa Arab ketika itu yang mengandalkan unta sebagai transportasinya. Sementara dengan berkendara unta, jarak Masjid al-Aqsa dengan Mekkah pada masa itu adalah dua bulan bolak-balik.
Masuk akalkah saat Nabi Muhammad berkisah mengenai perjalanan yang hanya semalam, bahkan berjumpa dengan Allah di singgasana-Nya? Apakah Nabi Muhammad pergi dengan jasadnya ataukah rohnya semata, ataukah sebuah mimpi dari Ilahi?
Pertanyaan-pertanyaan ini sebagian belum terjawab hingga masa kini, tetapi beberapa hal bisa dijawab oleh Nabi Muhammad, ketika ditanya oleh sahabat maupun kaum musyrikin Mekkah.
Saat kaum musyrikin menanyakan ciri-ciri Baitul Maqdis, Allah membukakan visi Nabi Muhammad, hingga beliau menjawab secara terperinci. Demikian pula ketika Nabi ditanya tentang kafilah dagang dari Syam yang akan sampai ke Mekkah. Berapa jumlah untanya, bagaimana kondisinya, unta warna apa yang di depan dan yang lari dari barisan. Semua pertanyaan rumit itu dapat dijawab dengan tepat oleh beliau. Sayangnya, sudah diberi bukti-bukti seperti itu pun, kaum musyrikin tak kunjung beriman.
Hal yang lebih penting lagi adalah cenderamata yang dibawa Nabi dari perjalanan ke langit tersebut. Rasul bertemu dengan beberapa Nabi di beberapa tingkatan langit, seperti berjumpa Nabi Adam, nenek moyang bangsa manusia di langit pertama.
Nabi Adam menyambut dan memberi salam dan mengakui kenabian beliau. Allah Swt. juga memperlihatkan ruh orang-orang yang berbahagia di sebelah kanan beliau, dan ruh orang-orang yang celaka di sebelah kiri.
Di langit kedua, Nabi Muhammad bertemu dengan Nabi Yahya bin Zakaria dan Nabi Isa, putra Maryam. Keduanya memberi salam dan mengakui kenabian Rasulullah. Hal yang sama pula yang terjadi ketika beliau bertemu dengan Nabi Yusuf di langit ketiga, dan bertemu Nabi Idris di langit keempat, lalu bertemu dengan Nabi Harun di langit kelima, serta di langit keenam, Rasulullah bertemu dengan Nabi Musa.
Dari Isra Mi’raj, beliau mendapat hadiah terbesar dari Allah, yakni perintah shalat lima kali sehari. Di dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dikisahkan bagaimana Nabi Muhammad sampai berbolak-balik untuk minta keringanan setelah mendapatkan masukan dari Nabi Musa. Sehingga shalat yang semula 50 kali menjadi 5 kali saja dalam sehari semalam.
Kemudian Jibril menindaklanjutinya dengan mengajarkan kepada Rasulullah tata cara berwudu dan praktik shalat. Setelah Isra Mi’raj, maka resmilah kaum muslimin menunaikan shalat lima waktu, menyempurnakan shalat yang sebelumnya hanya dilakukan dua kali; pagi dan petang.
Setelah Nabi Muhammad mengabarkan Isra Mi’raj secara terbuka, maka orang-orang pun terbelah atas dua pendapat; selain menolak juga ada yang langsung mengimaninya.
Sebagaimana Abu Bakar langsung berkata, “Jika memang beliau berkata seperti itu, berarti beliau benar, bahkan kisah yang lebih daripada itu, saya tetap akan memercayainya.”
Sejak saat itu, Nabi Muhammad saw. menambahkan gelar kepada Abu Bakar as-Shiddiq, yang bisa dipercaya (yang membenarkan). Sementara yang lain, bahkan ada yang ingkar kembali setelah mengikrarkan keimanannya karena hanya memakai nalar yang dangkal. Sedangkan kaum musyrikin Quraisy tetap menolak kebenaran Isra Mi’raj meskipun Rasulullah telah membuktikannya.
Di sini sengaja ditampilkan berbagai perbedaan pendapat tentang Isra Mikraj, bukanlah bermaksud menebarkan kebingungan. Sejatinya banyak hikmah yang dapat diperoleh dari perbedaan pendapat itu:
KOMENTAR ANDA