INSPIRASI tulisan ini berhulu dari ucapan seorang ibu muda, “Mengapa setelah menikah hidupku seolah tak bernyawa?”
Tentunya dia bicara dalam kondisi marah, dan kalimat itu keluar dari hati yang terkoyak.
Maklum, deretan panjang kekecewaan telah menghiasi perjalanan rumah tangganya. Tanggung jawab keluarga itu ternyata amatlah berat, apalagi dengan hadirnya anak-anak mungil yang menguras energinya lahir batin.
Sementara suaminya pun tidak dapat diharapkan, nyaris semua harapan yang diumbarnya menjelang pernikahan dulu tidak ada yang menjadi kenyataan. Janjinya istri akan dikuliahkan program magister hingga doktor, tapi dalam nafkah sehari-hari saja lebih sering berkekurangan.
Kini, si ibu muda menatap sendu kegemilangan rekan-rekannya yang tergambar di medsos mereka. Temannya yang dulu pemalu telah menjadi hakim. Sahabatnya yang dulu malu-maluin justru menjadi dosen. Sahabatnya yang dulu sering jadi bahan olok-olokan menjadi pebisnis hebat.
Ada pun ibu muda itu, dirinya yang dulu tersohor di kampus, yang bersinar cemerlang, yang mematahkan banyak hati laki-laki, kini malah terpuruk di sebuah kontrakan sempit sebagai ibu rumah tangga.
Tidak ada yang dapat dipamerkannya di medsos. Lagi pula apa yang mau dibanggakan kalau kesibukannya tak terlepas dari tiga wilayah domestik; kasur, sumur, dapur.
Kalau dulu ada istilah, rumput tetangga terlihat lebih hijau. Kini istilahnya berubah menjadi medsos teman terlihat lebih cemerlang.
Bedanya, rumput di halaman tetangga relatif lebih dekat untuk dilihat, diperhatikan dan dipantau. Dengan demikian dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya, karena kita bisa melihat faktanya. Meski tetap saja banyak orang yang silap mata, memandang hijaunya rumput tetangga melebihi rumput di halamannya sendiri.
Kini, medsos menghamparkan secara virtual kehidupan orang yang amat jauh sekalipun, meski terkadang boleh jadi tidak sesuai kenyataan. Kita terpesona melihat mereka yang tersenyum lebar, padahal lubuk hati mereka menangis. Kita juga terharu menyaksikan orang yang meneteskan airmata, meski hatinya gembira, dan ternyata itu adalah airmata kebahagiaan.
Sulit tidaknya tahun-tahun pertama pernikahan tergantung bagaimana suami istri menyikapi suka duka yang menghampiri. Jika persepsi kita menilai segalanya sulit, maka jangan heran sudah lama menikah kok terasa sulit melulu. Perasaan itu kan, sesuatu yang amat liar, maka berhati-hatilah dalam mengendalikannya.
Terkadang manusia yang mempersulit hidupnya sendiri dengan membuat target yang membebani batin, merancang tujuan yang nyaris mustahil, atau bermimpi yang tak masuk akal.
Ketika segalanya banyak yang tiada terealisasi, maka datanglah kekecewaan.
Memangnya ada kalimat yang enak keluar dari perasaan kecewa?
Bukan beratnya kehidupan yang perlu dikhawatirkan, akan tetapi kekecewaan itu malah yang mempersulit situasi rumah tangga.
Syaikh Salman Al-Audah dalam buku Bersama Sang Nabi menerangkan, terkadang, kehidupan rumah tangga terasa indah di awalnya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, berbagai kesulitan mulai muncul.
Pasangan suami istri mulai saling menjauh, sampai terkadang semuanya berakhir dengan sebuah hubungan suami istri yang sekadar formalitas belaka tanpa esensi. Ketika itu terjadi, suami istri menjadi dua orang yang menempuh dua jalan berbeda yang tidak pernah saling bertemu.
Namun akan lebih menarik bila kita mengupas hikmah dari keluarnya ungkapan kemarahan dari ibu muda di awal tulisan ini, di antaranya:
Pertama, sabarlah, sebab tidak ada yang instan, karena segalanya butuh proses.
Kedua, perkuatlah keimanan, percayalah kepada keadilan Tuhan yang menentukan waktu terbaik untuk kegemilangan kita.
Ketiga, perkuatlah ikhtiar dan jangan putus asa dari rahmat Allah.
Keempat, melihatlah dari kacamata yang positif.
Bagian akhir inilah yang menarik dikupas. Dari itu mari kita balik lagi kepada kisah ibu muda di atas:
Temannya yang hakim malah iri. Dia melihat betapa beruntung ibu muda itu punya waktu luas bersama anak, karena sang hakim tak kunjung dikaruniai buah hati.
KOMENTAR ANDA