DULU, sewaktu khotbah nikah, penghulu tak lupa menegaskan kepada hadirin yang berjubel, bahwa jangan mencampuri urusan rumah tangga pengantin. Intinya, apabila ada masalah, janganlah pihak lain memanas-manasi hubungan keduanya.
Kebetulan ijab kabul itu di kalangan adat suku Minang, yang di antaranya mengenal pribahasa biduak lalu kiambang batauik, artinya biduk berlalu kiambang kembali bertaut.
Kiambang adalah sejenis tumbuhan yang mengapung di permukaan air, dan biasanya mudah ditemukan di persawahan, kolam, danau atau pun sungai yang alirannya relatif tenang.
Uniknya, kiambang yang mungil ini gemar hidup berkelompok dan saling bertaut antara satu sama lainnya, sehingga tidak gampang hanyut.
Tatkala ada biduk atau sampan yang lewat, maka tautan antara kiambang-kiambang akan tersibak atau terputus. Hebatnya, segera setelah biduk itu berlalu, maka di antara kiambang-kiambang itu pun dengan ajaib kembali menyatu satu dengan lainnya.
Suku Minang ini menjadikan alam sebagai guru, dan dalam keunikan kiambang pun diperoleh saripati kehidupan.
Biduak lalu kiambang batauik, suatu nasihat agar jangan mencampuri perselisihan antara orang berkeluarga atau suami-istri, karena sesudah kita pergi, mereka berbaik kembali. (Yunus St. Majolelo, dalam buku Pepatah-Petitih Minangkabau)
Tak begitu banyak yang meresapi khotbah nikah sang penghulu, maklum ketika itu bukan hanya pengantin, akan tetapi seluruh hadirin larut dalam kegembiraan. Kemudian hari, waktulah yang membuktikan jalan kebenaran tersebut.
Tidak ada rumah tangga sakinah yang tanpa masalah. Perlahan namun pasti pengantin pun mendapatkan masalah demi masalah. Kedua keluarga pun turut campur, tetapi membela anak masing-masing. Tetangga bahkan masyarakat tak kalah bersemangat ikut memanas-manasi hingga publik pun terbelah dalam dua kubu.
Berbagai pihak lupa dengan nasihat penghulu saat ijab kabul terdahulu. Akibatnya masalah kecil menjadi besar, bahkan sedianya tidak ada persoalan pun kemudian malah menjadi masalah pula.
Akhirnya, pengantin itu pun merantau cukup jauh meskipun pihak sanak keluarga berat melepas. Mereka memandang pengantin itu terlalu muda, dianggap belum siap menempuh kehidupan mandiri tanpa campur tangan keluarga besar.
Namun kedua pengantin terus mengingat-ingat pesan penghulu dan memegang erat ucapan, jangan ada yang turut campur atau memanas-manasi.
Di negeri rantau pun ternyata persoalan itu banyak juga, bahkan lebih banyak daripada di kampung dahulu. Akan tetapi tidak ada pihak yang memanas-manasi, sehingga ketika emosi telah turun dan saat marah mereda, hubungan suami istri kembali membaik hingga tidak ada lagi ketegangan di antara keduanya.
Kuncinya adalah jangan ada yang memanas-manasi dan suami istri itu bersegera menurunkan emosi. Ternyata manis juga nasihat dari penghulu itu.
Antara turut campur dengan turut meredakan itu jauh berbeda. Jangan ikut campur apabila kehadiran kita hanya akan membuat suami istri makin panas hatinya. Maka berhati-hatilah memposisikan diri kita terhadap dinamika rumah tangga orang lain.
Terkadang konflik keluarga itu sudah seperti pertandingan sepakbola saja. Penonton malah lebih emosional, lebih jago, dan lebih memanas-manasi keadaan. Sehingga rumah tangga orang yang tadinya adem ayem malahan jadi bergejolak atau berantakan.
Sesungguhnya Rasulullah itu cerdik sekali dalam memposisikan dirinya. Hal ini, di antaranya tampak dengan terang benderang pada sebuah kisah:
Rasulullah datang ke rumah putrinya, lalu beliau tidak mendapati Ali. Beliau berkata, “Di mana anak pamanmu (suamimu)?”
Fatimah menjawab, “Sebelumnya antara aku dan dia telah terjadi perselisihan, lalu dia marah padaku, kemudian dia keluar meninggalkan rumah dan tidak tidur bersamaku.”
Beliau mendapati Ali sedang tidur di masjid, sehingga badannya bertaburan debu. Rasulullah mengusap debu seraya berkata, “Bangunlah wahai Abu Turab! (Bapak debu)!” (Ali Muhammad Ash-Shalabi, buku Biografi Ali bin Abi Thalib)
Menariknya, julukan Abu Turab melekat pada Ali bin Abi Thalib. Dan dirinya amat senang dengan sebutan itu karena diberikan langsung oleh Rasulullah.
Ada beberapa fakta unik dari kisah ini:
Pertama, Nabi Muhammad tidak menanyakan sama sekali persoalan yang berlangsung antara menantu dengan putrinya. Terkesan beliau tidak ikut campur sedikit pun. Dengan demikian kehormatan Ali bin Abi Thalib sebagai kepala keluarga tetap terpelihara.
Kedua, alih-alih menasehati atau pun mengadili, Rasulullah malah mencairkan suasana dengan bersenda-gurau. Beliau menghadiahkan julukan Abu Turab pada menantunya. Cara ini dalam tradisi Arab masa itu dapat menyejukkan hati. Sehingga emosi Ali bin Abi Thalib yang lagi naik perlahan mulai turun.
Tetapi kita perlu hati-hati dalam membuat humor terhadap orang yang lagi marah. Salah-salah emosinya malah tambah naik. Humor hanyalah salah satu cara yang ditempuh Rasul dalam mencairkan suasana. Kita dapat memakai cara ini atau memilih cara lain, yang penting emosi orang itu turun kembali.
Ketiga, ini bukannya Nabi Muhammad kurang cakap menyelesaikan masalah rumah tangga. Toh, masalah lebih besar dalam bernegara saja mampu beliau bereskan dengan seksama. Namun dengan tidak mencampuri, sejatinya Rasul memberi kesempatan pada anak dan menantunya lebih mematangkan diri, dengan cara menyelesaikan sendiri.
KOMENTAR ANDA