KOMENTAR

LELAKI muda itu belum lama menikah, dan atas karunia Allah istrinya pun segera mengandung.

Bukannya tidak bersyukur dengan anugerah akan punya buah hati, tapi kepalanya pusing sekali, yang berimbas kepada raut muka yang berselimutkan durja. Sampai-sampai ada yang berpikir pernikahan lelaki itu tidak bahagia, padahal istrinya perempuan salehah.

Rupanya lelaki itu pening disebabkan bisnisnya lagi kacau balau, menderita kerugian besar, padahal dirinya mengorbankan banyak kekayaan demi mengharapkan kejayaan. Kini, jangankan keuntungan spektakuler, uang untuk makan saja susah.

Pikirannya makin kalut melihat perut istrinya yang makin buncit, bagaimana nanti biaya persalinan? Jangankan ke rumah sakit elit, untuk bidan di kampung sebelah pun tak jelas kemampuan finansialnya.

Tetapi secercah harapan sempat bersinar tatkala seorang pengusaha senior, yang sering menjadi panutan dan rujukan para pebisnis pemula berkenan menerimanya, mendengar masalahnya bahkan akan memberikan solusi. Pengusaha senior yang pamornya lagi melesat itu berkata di ujung telepon, “Temui saja di masjid, insyaallah posisi saya selalu di saf pertama!”

Selesai shalat berjamaah, percakapan itu mulai dibuka, diceritakanlah berbagai masalah, sakitnya tertipu, keuangan yang berantakan, bisnis terancam gulung tikar, komplit dengan segala keluh-kesahnya.

Lelaki muda itu agak lega, karena pengusaha senior itu senyum-senyum saja mendengarkan. Agaknya masalah itu ringan baginya, maklum kan sudah senior, dan tentu solusi jitu akan segera diberikannya.

Pengusaha senior itu memberi solusi, “Belajar lagi shalat ya!”

Itu saja saran darinya, tetapi langsung menghunjam ke lubuk jantung.

Sebagai alumni pesantren, pengatahuannya tentang shalat tak perlu diragukan lagi. Akan tetapi lelaki muda itu tetap menaati anjuran nan ganjil tersebut, berbagai buku shalat ditelaahnya kembali, meski orang-orang melihat heran. Apa hubungannya sama bisnis ya?

Dan lelaki muda itu mendapati tata cara pelaksanaan shalatnya sudah benar, apalagi yang perlu dipelajari?

Akan tetapi dia terus mempelajari shalat, ternyata ibadah itu bukan hanya rangkaian kata atau olah gerakan semata, melainkan ada hakikat menuju jalan yang lurus. Masalahnya telah tersibak! Lelaki muda itu menyadari ibadahnya selama ini tak lebih bagaikan bercanda dengan Tuhan. Lha, kok bercanda sih?

Hatinya tidak pernah benar-benar hadir dalam shalat. Begitu mengucapkan takbir permulaan shalat, pikirannya langsung terbang; daftar tagihan, saham yang anjlok, pengkhianatan kolega, jumlah kerugian bisnis, bahkan jarum jahit yang hilang pun bisa teringat.

Alih-alih mencapai level khusyuk, dia pun sering ragu dengan jumlah rakaat, lupa dengan bacaan yang benar, gerakan shalat yang tidak sempurna, dan parahnya bagaimana bisa dirinya tidak menyerap saripati ibadah ketika dalam shalat yang merupakan komunikasi tertinggi dengan Ilahi jika dia tidak menghadirkan hatinya sendiri.

Shalatnya pun sering terlalaikan karena rapat, sidang, meeting dan berbagai urusan yang jelas-jelas penting, dan saking sangat pentingnya bahkan mengalahkan ibadah pada Allah. Dengan begitu, dia pun memandang ibadahnya selama ini tak lebih dari bercanda. Akan tetapi Allah Maha Penyayang, tidak pernah bermain-main dalam memberinya karunia dalam kehidupan.

Ramadhan pun tiba (bukan yang tahun ini ya!), setelah minta izin istri (bukan hanya poligami perlu restu istri lho!), maka lelaki muda itu iktikaf sebulan penuh di sebuah masjid kecil, terpencil lokasinya tidak jauh dari pemakaman. Meski sendirian dalam kesepian, dia sepanjang malam berjaga larut dalam munajat kepada Ilahi. Dia tidak pernah sendiri, ada Allah yang menaunginya.

Dia kembali membenarkan tata cara shalatnya, menghayati hakikatnya, merenungkan makna-makna luhurnya dan mendapatkan ketenangan batin yang menakjubkan. Kini, ketika menunaikan shalat, seolah-olah di hadapannya terbentang jalan lurus nan benderang.

Ngomong-ngomong, bagaimana dengan bisnisnya? Akhirnya, gulung tikar juga, tutup total. Bahkan rekannya ada yang menertawakan. Tetapi lelaki muda itu balik tertawa juga, karena dia merasa tidak gagal.

Kemudian dia membuka bisnis sebagai konsultan, berbagai perusahaan membutuhkan jasanya dan membayar jauh lebih besar, sehingga keuntungan berlipat-ganda diperolehnya. Dari mana dia punya ilmu sebagai konsultan itu? Ternyata pengalaman kegagalan pada bisnis sebelumnya itu adalah pengetahuan berharga, yang justru menyelamatkan perusahaan-perusahaan lain dari jebakan.

Jalan hidup setiap orang memang berbeda-beda, tetapi bagi setiap muslim sejati, jalan kita sudah jelas sekali, sebagaimana yang tertera dalam surat Al-Fatihah; ihdinas shiratal mustaqim; tunjukilah aku jalan yang lurus!

Dalam perjalanan hidup, kita bisa kapan saja tersesat, menyimpang, salah jalur, tersingkir, terhempas dan lain-lain, namun bersama doa yang kita baca di setiap shalat itu, kita akan senantiasa meminta petunjuk kepada jalan yang lurus.

Sebagaimana lelaki muda dalam kisah pembuka, keterpurukan yang pilu tidak membuatnya gelap mata, atau makin menyimpang dari kebenaran atau malah menghancurkan hidupnya sendiri. Dia beruntung dapat nasihat untuk kembali kepada jalan yang lurus, jalan menuju Tuhan. Shalat sebagai tiang agama diperbaiki penghayatannya kembali, cara pandang terhadap hidup dibenarkan dan kembalilah dia kepada jalan Tuhan.

Maka Tuhan pun membentangkan jalan kebenaran untuk dirinya menuju kejayaan yang berkah. Tidak ada yang dapat menghalangi kalau Tuhan yang berkehendak melimpahkan rezeki.

Tapi, bukannya di dunia ini jalan berkelok-kelok? Bahkan jalan tol pun tidak selalu lurus, bahkan jalur sirkuit balap justru yang diperbanyak tikungannya, ya biar seru! Lantas  mengapa kita meminta jalan yang lurus dalam shalat?




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur