Kemajuan teknologi memungkinkan pada waktu ini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) dan data besar (Big Data) mendemokratisasikan pengetahuan medis dengan cara yang sebelumnya tidak pernah diduga.
Platform pengetahuan medis seperti pathway medical memimpin dengan menggabungkan teknologi ini dengan antarmuka pengguna yang efisien untuk meningkatkan perawatan dan memfasilitasi hasil bagi pasien yang lebih baik.
Kombinasi ini membantu profesional tenaga kesehatan mendiagnosis dan merawat pasien dengan lebih efisien dibandingkan dengan metode penelitian tradisional. Tetapi tetap hasil kajian dari suatu penelitian dan metode penelitian masih didasarkan pada EBM.
Cerita kejadian untuk bedah jantung di tahun 1896 tadi tentunya pada zaman sekarang sudah tidak bisa dijadikan EBM "level A" karena kedaruratan yang memberi hasil baik tidak dapat menjadi "acuan" untuk dilakukannya secara umum kecuali dilakukan kajian penelitian ilmiah berdasarkan "aturan main" meneliti. Hal ini tentunya sangat tepat untuk bidang riset dunia kedokteran, karena menyangkut pengobatan pada manusia.
Dari uraian dan kilas sejarah tersebut, maka dalam menyikapi kontroversi yang saat ini berkembang terkait pembuatan vaksin untuk menanggulangi pandemi Covid 19 (ada "kedaruratan") mantan Menteri Kesehatan Dr dr Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), mengatakan bahwa tidak pernah ada pandemi yang diselesaikan dengan vaksinasi.
Harus dengan pengobatan, mencari obat yang cespleng untuk mengobati Covid 19. Upaya mencari obat atau pengobatannya harus menjadi prioritas ilmuwan kedokteran di bidang itu (yang juga tidak bisa hanya ”bonek”–bondo nekat– bermodalkan ”kenekatan”), harus berdasarkan penelitian yang mengikuti kaidah meneliti yang benar.
Senyampang dengan itu, maka upaya mencari jalan pencegahannya dengan mencari vaksin yang tepat juga dapat dilakukan. Tentunya juga dengan metode penelitian yang tunduk pada "aturan main" meneliti. Diharapkan tentunya, diperoleh obat yang terjangkau harganya, termasuk vaksin yang juga terjangkau harganya sesuai dengan keadaan sosio-ekonomi.
Obat atau vaksin yang pada akhirnya menjadi mahal atau "tidak ekonomis" tentunya bukan suatu temuan yang diharapkan dapat menyelesaikan masalah pandemi global ini. Kebanggaan akan "produk anak bangsa" memang suatu jargon nasionalisme yang perlu dijadikan semangat meneliti para ilmuwan Indonesia, yang dapat membawa marwah bangsa Indonesia ke derajat internasional demi cerahnya masa depan Indonesia.
Secerah datangnya sinar matahari musim panas yang mulai terasa di Surabaya, secerah harapan Indonesia untuk menuju sepuluh besar negara di dunia (atau bahkan lima besar negara dengan ekonomi terkuat), tentunya juga harapan kesehatan rakyatnya yang di tahun ini mencapai lebih dari 270 juta jiwa.
Seperti sehat sejahteranya rakyat di negara negara maju lainnya… layaknya menyambut "hari Kartini": habis gelap terbitlah terang... Aamiin.
Surabaya, Subuh 19 April 2021,
Puruhito, ketua Majelis Penelitian Dewan Pendidikan Tinggi Ditjen Dikti, 2008-2020
***
Saya sendiri kemarin ke RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Sebanyak 30 orang bersama saya: ingin jadi relawan uji coba fase 2 Vaksin Nusantara. Sebagian besar dari Surabaya, teman-teman senam SDI.
Di RSPAD kami menerima penjelasan apa itu penelitian VakNus. Bagaimana menjadi relawan –berikut kewajiban dan risikonya. Penjelasan itu diberikan oleh dr Kol Jonny. Itu sesuai dengan kaidah penelitian.
Di akhir pertemuan masih ditegaskan lagi: apakah tetap akan mau jadi relawan– bubuhkanlah tanda tangan. Atau mundur –karena tidak boleh merasa terpaksa.
Pun setelah menyatakan tetap mau, bukan berarti langsung bisa jadi relawan. Harus di atas 18 tahun –kami semua lolos. Harus tidak sedang sakit –satu dari kami gugur. Harus belum pernah vaksinasi –tiga orang lagi gugur.
Juga harus bersedia datang lagi untuk memeriksakan-pemeriksaan lanjutan –satu lagi gugur: belum tentu diizinkan perusahaannya untuk sering mbolos.
Banyak sekali persyaratannya. Yang lolos dari semua itu masih ada satu lagi: dites dulu darahnya. Untuk diperiksa: apakah sedang menderita HIV, dan lain-lain.
Lantas diperiksa lagi urinenya: apakah sedang hamil –bagi wanita. Kami semua lolos. Tidak ada yang lagi hamil.
Yang berstatus suami juga harus sanggup tidak menghamili istri selama dua bulan ke depan –perlu pakai kondom.
Saya tidak lolos.
Bukan karena enggan pakai kondom, tapi karena saya belum tiga bulan sembuh dari Covid-19. Dua dari kami pernah terkena Covid tapi sudah lebih enam bulan lalu –boleh jadi relawan.
Saya juga tidak lolos karena ini: tiap hari saya harus minum obat menurun imunitas –sebagai konsekuensi transplantasi 15 tahun lalu.
Tapi saya tetap ingin diterapi VakNus –bukan sebagai objek penelitian. Maka saya tetap diambil darah. Lalu sel dendritik saya akan diproses di lab selama 7 hari. Hari ke 8 nanti sel dendritik itu akan disuntikkan kembali ke tubuh saya.
Doa saya: teori fisika berlaku di Indonesia. Turbulensi ini akan berbuah berkah.
Saya pun ingat motto ini: layang-layang itu bisa terbang justru karena menentang angin –bukan mengikuti angin.
KOMENTAR ANDA