Ternyata teman tadi terlalu cepat memberi info ke saya. Dua hari pertama D-dimer-nya memang turun. Tapi, setelah itu ternyata naik lagi.
Tapi, obat teman itu terus saya minum. Saya sudah bertanya ke dokter: apa kandungan obat tersebut. Saya juga bertanya ke apoteker. Jawabannya sama: kandungannya persis seperti Plavix.
Ya sudah. Saya minum saja terus. Sampai satu dus itu habis. Daripada minum Plavix. Harga obat itu hanya seperempat harga Plavix. Jauh lebih hemat. Nanti saja, setelah obat murah tersebut habis, saya kembali ke Plavix. Atau terus.
Saya pun sering tersenyum sendiri: kok D-dimer saya ini keras kepala sekali.
Lalu, saya ingat suntikan di perut itu. Yang membuat D-dimer saya pernah turun dari 2.600 ke 1.500. Turun 1.000 poin itu kan banyak. Kok dulu itu dihentikan. Jangan-jangan, saya pikir, kalau diteruskan, berhasil. Yang 1.500 itu turun lagi jadi 500.
Saya pun beli obat itu. Dengan resep dokter. Suster swasta datang ke rumah. Pagi dan sore. Menyuntikkannya di perut.
Kulit perut saya pun kembali hitam-hitam.
Setelah seminggu pun saya minta diteruskan. Lebih dari 15 hitam muncul di kulit perut saya. Jelek. Biarin. Rapopo.
Hari ke-10 saya ke lab. Diam-diam saya berharap banyak dari hasil lab itu: D-dimer turun ke 500. Atau di bawah itu.
Tidak.
Memang turun, tapi masih tinggi: 1.200.
Saya pun telepon ke suster itu: tidak perlu datang lagi. Suntikan dihentikan.
Dia bertanya kenapa. Saya jawab tidak apa-apa.
Di balik tidak apa-apa itu saya gemetar. Hasil pemeriksaan lab tersebut membelalakkan mata: fungsi hati saya terganggu berat! SGOT/SGPT saya naik lima kali lipat dari normal. Ini lampu merah.
Saya pun ingat: mengapa dokter di RS dulu menghentikan suntikan Heparin di perut. Waktu itu SGOT/SGPT saya juga naik drastis tiba-tiba.
Tentu saya lebih sayang pada hati saya. Itu benda titipan. Meski sudah 15 tahun menyatu dengan tubuh saya, tetaplah itu hatinya orang lain. Yang harus saya jaga baik-baik.
Lima hari kemudian saya ke lab lagi. Fungsi hati saya sudah normal lagi.
Kian banyak dokter yang saya hubungi. Di dalam dan luar negeri. Tidak ada jawaban yang memuaskan.
Sampai hari ini. Tiap sepuluh hari saya ke lab. Tetap saja D-dimer saya sekitar 1.800 itu.
Banyak dokter yang bertanya balik: berapa D-dimer saya sebelum kena Covid. Jangan-jangan sudah tinggi.
Saya tidak bisa menjawab itu. Seumur hidup baru sekali D-dimer diperiksa ya di RS Premier Surabaya itu. Saat kena Covid itu.
Saya pun menghubungi dokter Ben Chua di Singapura: apakah pernah memeriksa D-dimer saya. Yakni, saat ia menangani aorta dissection saya tiga tahun lalu.
"Hi Pak Dahlan... we did not check D-dimer previously as you did not have dvt or was suspected to have dvt" jawabnya.
Jelaslah, saya tidak pernah diperiksa tingkat D-dimer karena tidak ada indikasinya.
Satu-satunya yang membuat saya tetap happy adalah dokter ahli jantung dan pembuluh darah RS Premier Surabaya: dr Jeffrey Daniel Adipranoto. Yang lulusan Belanda itu.
KOMENTAR ANDA