SAYA berhenti di rest area dekat Batang, Jateng. Isi bensin. Di sepanjang jalan tol dari Jakarta itu, saya kepikiran isi novel yang hampir selesai saya baca: Mengadang Pusaran.
Maka, sambil istirahat, saya selesaikan novel itu. Biar segera tahu ending-nya. Perjalanan ke Surabaya masih lima jam lagi. Tidak sabar. Itulah novel 440 halaman yang ditulis orang yang sangat benci Indonesia, lalu jatuh cinta pada bahasa Indonesia.
Nama penulis novel itu: Lian Gouw. Kelahiran Bandung. Kini usianya 84 tahun. Lian Gouw tinggal di Palo Alto, dekat San Francisco.
Kepergian Lian ke Amerika Serikat pun akibat kebencian itu. Di awal tahun 1960. Yakni, ketika pemerintahan Soekarno melarang bahasa Belanda. Juga, apa pun yang berbau Belanda.
Sejak kepergiannya itu, Lian tidak mau lagi ingat Indonesia. Pun selama 50 tahun itu, selama di Amerika itu, dia tidak mau tersambung dengan apa pun yang berbau Indonesia.
Bahasa Indonesia yang hanya sebentar dia pelajari di SMA Belanda di Bandung hilang sama sekali dari ingatannya.
Lian dibesarkan di keluarga Tionghoa golongan hollands spreken. Yang tidak mau lagi menyerap dan mempraktikkan budaya Tionghoa. Adat istiadat di rumahnya memakai adat Belanda. Termasuk cara makan dan jenis makanannya. Mereka tidak mengenal sumpit. Sekolah pun harus di sekolah Belanda.
Di Amerika, Lian jadi orang Amerika. Saat menulis novel ini pun, suasana kebatinannya adalah ”sebagai orang Amerika yang menulis novel dengan latar belakang masa lalu Indonesia”. Judul novelnya: Only a Girl.
Penerbit Gramedia menemukan novel itu. Lalu menerjemahkannya. Dengan judul baru, Menantang Phoenix. Gramedia lantas mengundang penulisnya datang ke Indonesia.
Saat undangan itu tiba, Lian masih benci Indonesia. Tapi, dia harus datang. Untuk acara peluncuran novel terjemahan itu.
”Saya seorang penulis yang harus bertanggung jawab pada karyanya,” ujar Lian kepada saya pekan lalu.
”Saat itu saya mengunjungi Indonesia sebagai penulis Amerika yang karyanya dibeli negara asing Indonesia,” ujar Lian.
Lian menambahkan: buku saya dibeli Gramedia dan saya ”mengantar” ”anak batin” saya ke negera yang menyambutnya dengan baik.
Itu tahun 2010. Ketika Lian berumur 73 tahun. Ketika sudah 50 tahun tidak pernah mau tahu lagi tentang Indonesia.
"Waktu itu hujan deras. Dari bandara langsung ke tempat acara," katanya. Perbedaan waktu Jakarta-San Francisco yang lebih dari 12 jam membuat Lian kurang enak badan. Dia mengalami apa yang disebut jet lag.
Kedatangan Lian ke Indonesia membawa perubahan drastis pada sikapnya. Dari membenci ke mencintai. Terutama mencintai bahasa Indonesia. Cinta yang setengah mati. Sampai Lian memutuskan untuk kursus bahasa Indonesia.
Setelah itu, Lian bolak-balik ke Indonesia. Ke banyak kota. Juga ke Bandung yang melahirkannya. Tapi, di Bandung dia sudah tidak punya keluarga sama sekali.
Tempat sekolahnya, SMA Lyceum, masih ada. Sudah banyak berubah. Rumah sakit Boromeus juga masih ada. ”Kosambi berubah menjadi lebih bagus,” katanya.
”Bagaimana dengan rumah Nana yang ada di cerita novel itu?” tanya saya.
”Entah...,” jawabnya. Mungkin rumah yang jadi sentral cerita itu memang hanya fiksi.
”Apakah nama Nana itu diambil dari ’nai nai’ yang dalam bahasa Mandarin berarti nenek?” tanya saya.
”Bukan. Nana kan hollands spreken,” katanya.
Kecintaannya yang baru pada bahasa Indonesia dia wujudkan di novel terjemahan terbaru itu: dengan judul Mengadang Pusaran. Yang diterbitkan Pustaka Kanisius, Jogjakarta, 2020.
Di novel itu Lian tidak mau menggunakan kata Indonesia yang berasal dari serapan bahasa asing. Lian minta kepada penerjemahnya harus menggunakan kata asli bahasa Indonesia. Harus 100 persen.
KOMENTAR ANDA