Lian tidak hanya cinta bahasa Indonesia. Dia juga merasa bangga dengan kekayaan bahasa Indonesia.
Saat kirim WA ke saya pun, Lian tidak mau menggunakan bahasa Indonesia serapan. Bahasa Indonesia Lian murni.
Terus terang, inilah untuk kali pertama saya membaca novel yang 100 persen bahasa Indonesia-nya asli.
Saya pun menghubungi penerjemah novel Lian: Widjati Hartiningtyas. Saya ingin tahu seberapa sulit mengikuti keinginan Lian itu.
”Beliau sangat keras menentang kata serapan,” ujar Widjati.
Tidak boleh ada kata ”problem”, ”solusi”, ”provokasi”, dan sebangsanya. Semua itu disebut kata serapan dari bahasa asing.
Kadang Widjati perlu waktu lama untuk menemukan kata asli dalam bahasa Indonesia. Widjati orang Semarang. Lulus SMAN 4 di kota itu. Dia alumnus Universitas Negeri Semarang, jurusan sastra Inggris. Ibu dua anak tersebut seorang penulis yang produktif. Widjati kini mewakili Indonesia dalam global workshop Room to Read Amerika.
Saya pun kirim WA ke Widjati. Yakni, saat saya membaca kata ”makmal” di novel itu. Saya sungguh tidak tahu apa yang dimaksud ”makmal”. Ternyata kata ”makmal” adalah bahasa Indonesia untuk ”laboratorium”.
Sepanjang novel itu saya menemukan banyak kata asli Indonesia, tapi justru terasa sangat ”asing” di telinga saya.
”Saya bisa berjam-jam video call dengan beliau. Saya belum pernah bertemu langsung,” ujarnya. Kata ”video call” bukan hanya serapan, melainkan asli bahasa asing. Saya belum tahu apa bahasa Indonesia-nya video call.
Diskusi terpanjang terjadi ketika Widjati ingin menerjemahkan kata ”overall” menjadi ”celana monyet”. Lian tidak setuju. Celana monyet itu, menurut Lian, hanya dipakai anak kecil. Padahal, pakaian ”overall” yang ditulis Lian masih biasa dipakai tokoh di novel tersebut sampai pun masa remaja. Memang akhirnya Widjati tidak menemukan apa padanan ”overall” dalam bahasa Indonesia. Akhirnya mereka sepakat menerjemahkan ”overall” dengan ”celana” saja.
Widjati juga mengalami kesulitan menyebut jenis bahasa yang dipakai Belanda (atau juga orang Tionghoa) untuk berbicara kepada para pembantu rumah tangga mereka.
Dalam novel asli yang berbahasa Inggris disebut bahasa ”Malay”. Semestinya itu bisa diterjemahkan menjadi ”bahasa Melayu”. Tapi, Lian tidak setuju. Bahasa yang dipakai zaman itu tidak sama dengan bahasa Melayu. Maka, di novel terjemahan tersebut, bahasa itu disebut ”Maleis”.
Bahasa seperti itu sebenarnya juga sudah dipakai koran-koran Jakarta di zaman itu. Memang tidak sama dengan bahasa Melayu. Dalam literatur lama disebutkan, koran-koran tersebut menggunakan ”bahasa Melayu-Tionghoa”.
Sebenarnya Lian akan ke Indonesia lagi tahun ini. Untuk peluncuran novel terjemahan kedua itu. Tapi, batal karena Covid.
Lian sendiri mengaku puas atas terjemahan Widjati. Lian juga memuji kerja keras Widjati. ”Nilai terjemahannya 8,5. Nilai kegigihan dan kerja keras Widjati 9,5,” ujar Lian.
Membaca novel ini, saya membayangkan Lian adalah Jenny, tokoh utama di novel tersebut.
Benarkah?
Lian paling tidak suka ditanya soal itu.
Dari novel inilah saya bisa tahu keadaan Bandung di masa peralihan. Dari zaman Belanda ke zaman kemerdekaan. Saya jadi tahu apa beda Bandung Selatan dan Bandung Utara. Yang dibatasi rel kereta api.
Jenny, tokoh remaja di novel itu, sampai naik pohon mangga tinggi-tinggi. Di malam yang gelap. Untuk bisa melihat lautan api di Bandung Selatan.
Saya juga baru tahu soal ini: bendera Merah Putih ternyata baru dikibarkan di SMA Belanda di Bandung pada tahun 1950. Lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan. Sampai tahun 1950 itu, foto yang dipasang di dalam kelas, di atas papan tulis pun, masih foto Ratu Wilhelmina.
Dari novel ini kita bisa paham bagaimana keadaan golongan Tionghoa di masa peralihan itu. Ada yang hollands spreken yang pro-Belanda. Ada golongan Tionghoa netral. Ada juga Tionghoa yang pro kemerdekaan, yang membenci Belanda.
Golongan Tionghoa totok ternyata juga membenci Tionghoa yang kebelanda-belandaan. Mereka menyebutnya dengan ”Belanda Tun Pua” (Belanda satu setengah gobang). Itu karena mereka harus membayar 1,5 gulden untuk bisa mendapat status Belanda.
Lian Gouw kini sudah agak lancar berbahasa Indonesia. Itu saya lihat ketika Lian jadi pembicara zoominar ”tipis-tipis” di perkumpulan Boen Hian Tong Semarang pekan lalu.
KOMENTAR ANDA