MELAWAN lupa termasuk agenda yang gigih diperjuangkan manusia, terlebih pelupa apalagi pikun dianggap sebagai petaka. Meski manusia tidak dapat pula memungkiri kinerja otak kian lama makin menurun yang berpengaruh kepada memburuknya ingatan.
Anehnya, sebagian manusia punya ingatan yang baik justru untuk hal-hal yang buruk, tentang deretan kenangan yang menoreh luka di lubuk sanubarinya. Mengapa ingatannya bisa sedemikian kuat untuk yang menyakitkan ya?
Episode #1:
“Seumur hidup, aku tidak akan melupakannya!” ucapan itu dikumandangkannya puluhan tahun yang lalu. Kini, hingga uban bertaburan di kepalanya, bukan hanya setia melajang, perempuan itu juga memegang teguh perkataannya itu.
Bagaimana dia akan lupa, cinta tulusnya kandas ketika selangkah lagi menuju pelaminan. Pahitnya, lelaki pujaan hati malah bersanding dengan sahabat dekatnya, ya semacam episode pagar makan tanaman.
Karirnya yang teramat gemilang dan kesibukan yang begitu padat tidak dapat menjadi pelarian dari kenangan-kenangan buruk; bangun pagi dia teringat pahitnya pengkhianatan sahabat, hingga tengah malam susah memejamkan mata teringat tentang rasa sakit itu.
Di rumahnya yang megah, tersedia sebuah ruangan khusus, tempat dirinya membanting barang-barang, memecahkan apa saja, pokoknya melampiaskan segala amarah. Akan tetapi rasa sakit itu tidak kunjung beranjak pergi. Sakit sekali!
Episode 2#
Dunia ini terlihat betul-betul kecil bagi dirinya. Betapa tidak, perempuan itu sarapan pagi, makan siang dan makan malam bisa di negara yang berbeda-beda. Dia dengan mudah berterbangan ke berbagai penjuru bumi, karena kapasitas dirinya yang memang menakjubkan, level internasional lho!
Tetapi dia mengaku tidak dapat menikmati hidup, meski telah memiliki suami yang pengertian, serta anak-anak yang mengagumkan. Pasalnya, perempuan itu dirundung luka batin, dan seringkali diterjang oleh kenangan-kenangan buruk.
Dalam sehari saja, berulang-ulang kali kenangan pahit itu menerpa; tentang ibunya yang diinjak-injak oleh tetangga, tentang cacian dan makian yang mempermalukan keluarganya.
Celakanya, tetangga itu adalah gurunya di sekolah, yang membuat bu guru itu makin leluasa membully dirinya. Dan kejadian-kejadian yang menyayat hati itu tak kunjung pupus, dan terus menghantui sepanjang hayatnya.
Mengapa ingatan manusia amat kuat terhadap yang buruk-buruk? Setidaknya ada beberapa aspek yang menarik untuk dicermati:
Pertama, trauma yang teramat mendalam.
Kalau mau dibuat perumpamaan, maka trauma itu ibarat luka batin. Tidak tampak tetapi amat menyakitkan, bahkan sulit untuk disembuhkan. Memang banyak tersedia dokter, terapis hingga psikolog, akan tetapi penyembuhan trauma itu tidak terlepas dari kesadaran diri sendiri untuk bangkit dari kubangan kenangan nan kelam.
Kedua, belum ikhlas menerima suratan takdir.
Bukan takdir yang kejam, melainkan pengetahuan manusia yang belum mampu menggapai hikmah di baliknya. Tuhan tidak pernah mencelakai hamba-Nya dengan takdir yang buruk. Takdir adalah perkara keikhlasan menerima, lagi pula mau tidak mau kita memang harus menerimanya karena telah menjadi takdir.
Apa yang tidak kita rubah, maka ada baik kita belajar menerimanya dengan ikhlas. Mau bagaimana lagi, segalanya telah terjadi dan tidak ada kekuatan apapun yang mampu menarik sang waktu ke masa lampau.
Ketiga, terlalu pahit untuk dilupakan.
Kita mungkin sering menerima saran dari orang-orang, “Lupakanlah!”
Padahal menghapus memori di otak tidak semudah melenyapkan virus di komputer, terkecuali kita hilang ingatan atau terlanjur gila.
Cara yang lebih realistis adalah menerima hal buruk itu sepaket dengan luka, sakit, pahit dan nestapanya. Kita terima itu semua bukan untuk terus menyiksa batin, melainkan demi memberi pemahaman kepada diri sendiri bahwa kejayaan kita saat ini, tidak terlepas dari pengalaman-pengalaman pahit itu.
Ibarat vaksin, maka kejadian buruk itu memang menyakitkan, teramat sakit malah, akan tetapi justru deretan kejadian buruk itu yang meningkatkan imunitas diri kita, yang membuat kita dewasa, serta tangguh menjalani gelombang kehidupan.
Bila tidak mungkin melupakan, maka terimalah sebagai bagian dari pelajaran hidup. Itu akan lebih bermanfaat, daripada hidup kita yang sejatinya indah ini terus terkoyak oleh kenangan buruk.
Keempat, sejujurnya dari puluhan tahun kehidupan ini dilalui, tentulah lebih banyak kenangan manis, indah, dan baik. Anehnya, fokus kita justru kepada kenangan-kenangan buruk, yang secara kuantias tidaklah banyak amat.
KOMENTAR ANDA