Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

PERTAMA kalinya dalam sejarah hidup manusia, kita merasa tidak berdaya. Pandemi merampas semua yang kita miliki.

Hingga dua tahun lalu, kita bisa keluar dari pintu rumah tanpa rasa takut. Menyapa siapa pun, bersalaman, berbincang sambil tertawa terbahak-bahak. Bebas bepergian ke mana pun kita suka. Naik bis, naik kereta, atau pesawat terbang tanpa syarat.

Interaksi dengan keluarga besar, kerabat, juga sahabat berjalan intim. Kita duduk berdekatan saat hari raya, berpelukan untuk menguatkan saat ada yang berduka.

Pun di sekolah atau tempat kerja, siswa dan mahasiswa bisa bertemu tatap muka dengan guru dan dosen. Rapat di kantor terasa segar dengan celetukan penuh humor, lengkap dengan teh manis hangat atau kopi hitam yang tersedia di pojok ruangan.

Raga yang berdekatan ternyata menghangatkan jiwa.

Tapi sejak dua tahun ini, terlebih ketika si Delta hadir di bumi Pertiwi, jangankan untuk keluar rumah, berdiam dalam rumah pun bisa terasa mencekam. Entah dari mana atau dari siapa, kita yang menghabiskan waktu di rumah juga bisa merasakan dahsyatnya SARS-CoV-2 menggerogoti kesehatan.

Banyak yang berhasil melewati masa buruk, namun tak sedikit yang tak bisa melawan ajal. Komorbid yang memperburuk kondisi hingga badai sitokin menjadi saksi perjuangan manusia yang berujung syahid.

Satu per satu anggota keluarga kita pergi. Satu demi satu orang yang kita kenal dekat menghadap Sang Khalik. Berita duka singgah ke ruang chat kita setiap hari.

Sejak dua tahun ini, tak ada keintiman keluarga di hari raya. Meski kemeriahan tetap coba dibangun di depan layar laptop atau ponsel. Tapi semua tahu, tak ada yang mampu menggantikan syahdunya sungkeman, bersalaman, dan berkumpulnya tiga generasi di rumah eyang buyut.

Pun sejak dua tahun ini, tak ada siswa atau mahasiswa yang berlari tergesa-gesa karena terlambat datang ke ruang kelas. Tak ada kerutan di dahi karena kesulitan menjawab soal di dua lembar kertas yang dibagikan guru atau dosen. Tak ada yang berdesakan di kantin sekolah. Tak ada pesta wisuda atau prom night. Berganti dengan screen time yang seringkali kebablasan.

Gedung-gedung pencakar langit sepi. Tak ada antrean berkerumun menunggu di depan pintu elevator. Tak ada tempat parkir penuh mobil. Tak ada pekerja yang lembur hingga larut malam. Sebaliknya, sejak dua tahun ini hampir semua RS di Tanah Air melewati kapasitas BOR (Bed Occupancy Rate).

Dengan begitu dahsyatnya pandemi menghantam semua sendi kehidupan manusia, masih adakah keindahan pandemi di mata kita?

dr. Siti Chandra Widjanantie, Sp.KFR (K) dari RSUP Persahabatan pernah mengatakan bahwa pandemi membawa kemajuan yang tak terbayangkan sebelumnya dalam dunia sains dan kedokteran.

Betapa tidak, para ilmuwan di seluruh dunia berpacu dengan waktu untuk mengadakan studi, penelitian, perbandingan, uji klinis, dan evaluasi terus-menerus demi mencari penawar pahitnya Covid-19. Jurnal demi jurnal diterbitkan di kancah internasional. Siapa menyangka, teknologi yang makin canggih memungkinkan pembuatan vaksin dapat dilakukan dalam hitungan bulan.

Tak hanya soal vaksin dan obat, pandemi juga membuat tenaga medis—terlebih para dokter—untuk terus menggali metode terbaik yang bisa meminimalkan risiko kematian dari Covid-19.

Bagi kita, masyarakat umum alias awam, pandemi juga membawa kemajuan dalam diri kita yang sebelumnya tak pernah terpikirkan.

Pandemi memaksa kita untuk hidup lebih sehat dan lebih bersih. Mulai dari perilaku dan kebiasaan sehari-hari, makanan yang kita konsumsi, hingga pengetahuan dan keterampilan kesehatan yang bertambah pesat. Kita lebih banyak membuka info kesehatan yang dulu jarang kita pedulikan sekaligus lebih cerdas menyikapi serbuan aneka hoaks.

Pandemi juga memaksa kita lebih selektif membuat skala prioritas kebutuhan hidup. Menghamburkan uang untuk kebutuhan sekunder atau tertier jelas tidak akan kita lakukan.

Pandemi juga mendongkrak daya juang manusia.

Kita melihat begitu banyak orang (terlebih para suami) terdampak pandemi; kehilangan mata pencaharian, kehilangan pekerjaan. Pun jika tak di-PHK, berkurangnya beban kerja membuat gaji juga berkurang.

Saat itu terjadi, kita melihat banyak istri melejitkan potensi diri yang selama ini belum tersalurkan. PSBB hingga PPKM melahirkan sejumlah enterpreneur dari rumah. Tak sedikit yang menjajal bisnis kuliner online dan bermitra dengan Grab Food, Go Food, juga Shopee Food.

Banyak pula istri yang mencoba peruntungan menjadi reseller. Yang dijual mulai dari produk kebutuhan kesehatan yang menjadi primadona, hingga pernak-pernik kebutuhan hidup sehari-hari agar keluarga tak bosan di rumah.

Selama halal, dikerjakan. Demi bertahan hidup di masa pandemi.

Dari mereka yang sedang atau selesai menjalani isolasi mandiri (isoman), kita pun bisa memahami efek pandemi. Ada yang belajar lebih sabar, ada yang belajar untuk menerima takdir, ada yang belajar lebih memahami kondisi tubuh, ada yang belajar lebih disiplin, ada yang belajar untuk lebih berempati, ada yang belajar untuk tidak mengulangi kesalahan.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur