MASYARAKAT internasional menanti apa yang akan terjadi di Afghanistan setelah Taliban berkuasa kembali. Sebuah janji sempat terucap bahwa Taliban tidak akan mengubah sistem politik dan kehidupan masyarakat yang diterapkan pemerintah Afghanistan. Termasuk menghadirkan wajah baru, sebuah pemerintahan inklusif yang menghormati perempuan dan HAM.
Apakah Taliban dapat menjamin realisasi janji manis mereka?
Menengok pengalaman masa lalu sekaligus menyaksikan begitu cepatnya Taliban merebut kekuasaan selepas tentara Amerika angkat kaki dari bumi Afghanistan, tak sedikit yang meragukan Taliban akan menepati janji mereka.
Kekhawatiran terbesar yang muncul adalah Taliban akan menghapus ruang publik dalam konteks modern yang selama ini sudah sedemikian berkembang lalu menggantinya kembali dengan ruang publik yang lekat dengan sentimen agama.
Apa yang terjadi di Afghanistan selama berada dalam cengkeraman Taliban adalah kehidupan yang dipenuhi sentimen agama, seperti juga terjadi di Pakistan. Sentimen agama yang bersentuhan dengan politik itu dipimpin oleh pemimpin agama kharismatik yang tak ayal memunculkan perlawanan bersifat fanatis.
Padahal di era 1970-an, Afghanistan terbilang cukup modern dengan memberikan hak publik dan hak pendidikan kepada perempuan. Indonesia bahkan pernah berguru kepada Afghanistan.
Untuk mendirikan IAIN di tahun 1964 (sekarang UIN), Departemen Agama RI saat itu mengirimkan delegasi untuk melakukan studi banding ke Mesir, Arab Saudi, Maroko, Turki, India, Pakistan, dan Afghanistan.
"Menariknya, dari semua hasil studi banding itu, IAIN kita kiblatnya ke Universitas Islam Afghanistan, mengadopsi kurikulum pendidikan di Afghanistan," ujar Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Aktivis Perempuan & Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dalam bincang virtual RMOL World View bertajuk "Menyoal Janji Manis Taliban Untuk HAM Dan Perempuan", Senin (23/8/21).
Seolah meneruskan romansa di masa lalu, kerja sama Indonesia-Afghanistan dalam beberapa tahun terakhir juga terbilang makin intensif. Terlebih lagi setelah isu HAM dan pemberdayaan perempuan menjadi agenda internasional, dibentuklah Afghanistan-Indonesia Solidarity Network.
Kerja sama itu memungkinkan para ulama, perempuan, hingga remaja Afghanistan datang ke Indonesia. Di antara para ulama yang datang, ada pula yang berafiliasi dengan Taliban. Dan layaknya hubungan silaturahim, delegasi Indonesia pun balas mengunjungi mereka di Afghanistan.
Menurut Siti Ruhaini, melalui kerja sama intensif, bangsa Indonesia berharap terciptanya rekonsiliasi secara kultural di Afghanistan. Termasuk untuk saat ini.
"Indonesia berharap Taliban dapat melihat implementasi Islam yang lain (berbeda dari apa yang dipraktikkan di Afghanistan). Seperti halnya interaksi Afghanistan dengan Iran, revolusi Iran menjadi contoh bagaimana negara memberi hak pendidikan, hak publik, dan hak politik kepada perempuan," kata Siti Ruhaini.
Demikian pula dengan China dan Rusia yang tampak mendekati Afghanistan. Masyarakat internasional berharap kedua negara tersebut bisa memasukkan urgensi HAM dan hak perempuan sebagai bagian dari diplomasi bilateral dengan Afghanistan.
Semua berujung pada satu harapan tinggi: rekonsiliasi Taliban untuk mau menggunakan sistem modern dalam tata kelola politik dan tata kelola masyarakat di Afghanistan.
Lebih khusus tentang HAM dan perempuan, berbagai ide positif juga sudah digagas Afghanistan Indonesia Women Solidarity Network (AIWSN) yang terbentuk di Kabul pada 1 Maret 2020 dan diresmikan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Mengutip kemlu.go.id, AIWSN dibentuk dalam rangka peningkatan hubungan bilateral Afghanistan dan Indonesia sekaligus implementasi komitmen Indonesia dalam proses perdamaian di Afghanistan dalam bentuk pemberdayaan perempuan Afghanistan sebagai agen perdamaian.
Tak hanya meresmikan AIWSN, Menlu Retno kala itu juga berbincang dengan Menteri Urusan Perempuan Afghanistan Delbar Nazari serta Menteri Informasi dan Kebudayaan Hasina Safi.
Anggota AIWSN dari Indonesia adalah Prof. Dr Huzaemah Tahido Yanggo (alm), Prof. Dr. Hakristuti Hakrisnowo, Rahmawati Husein, PhD, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, Prof. Dr. Amany Lubis, dan Zanubba Ariffah Chafsoh (Yenny Wahid).
"Kita masih menunggu dinamika internal di Afghanistan dengan sejumlah harapan bahwa Afghanistan dapat menjadi negara yang lebih stabil, lebih damai, dan inklusif," kata Siti Ruhaini terkait sikap AIWSN menghadapi gejolak sosial politik di Afghanistan.
Siti Ruhaini menjelaskan bahwa hubungan baik sudah terjalin melalui AIWSN. Dari berbagai pertemuan, diketahui bahwa pendidikan menjadi satu kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi bagi perempuan Afghanistan, yang juga menjadi cara untuk meningkatkan taraf hidup. Demikian pula kebutuhan mereka terhadap dokter, perawat, juga ahli gizi guna menekan tingginya angka kematian ibu melahirkan dan bayi.
Gagasan yang terlontar dalam AIWSN adalah menjalankan program pendidikan online (seperti homeschooling atau PJJ yang kita kenal sekarang ini) mencontoh sistem yang dipakai di Universitas Terbuka.
Agenda open education itu sebenarnya sudah bisa terlaksana dengan baik mengingat kemajuan teknologi makin berkembang bahkan dimanfaatkan semaksimal mungkin selama pandemi Covid-19. Namun keputusan Presiden Joe Biden menarik mundur pasukan AS setelah 20 tahun berada di Afghanistan menghasilkan 'badai' dahsyat yang mengancam kelangsungan agenda tersebut.
"Kami yakinkan mereka bahwa perdamaian harus datang dari perempuan," kata Siti Ruhaini.
Seperti pesan yang ia presentasikan lewat video dalam Kongres Ulama Perempuan Afghanistan Juni 2020 lalu, bahwa perempuan harus belajar dan mendapat pendidikan yang cukup. Dengan demikian, kesadaran tentang pentingnya perdamaian akan muncul.
KOMENTAR ANDA