Entah mengapa, semua terlihat begitu mudah.
Pada hari Taliban merebut Kabul, sebuah foto tersebar luas, memperlihatkan seorang laki-laki yang mengecat poster besar di dinding butik di kota. Ia mengecat dinding untuk menutupi gambar di sana. Gambar besar wajah perempuan Afghanistan yang menjadi model untuk busana pengantin.
Dihapusnya gambar-gambar itu, menurut Mellissa sama seperti menghapus kembali eksistensi perempuan dari ranah publik. Yang ditakutkan Melissa, kemajuan yang diperjuangkan para perempuan Afghanistan selama dua dekade terakhir juga akan terhapus.
Berdoalah Untuk Kami
Taliban mengatakan bahwa mereka akan membangun pemerintahan inklusif, termasuk mengundang perempuan masuk dalam jajaran pemerintahan dan berjanji bahwa hal itu dapat menjadi bagian dari kekuasaan selama "sesuai dengan hukum syariah".
Namun banyak perempuan Afghanistan tidak yakin akan janji tersebut. Mereka ingat bagaimana taliban menargetkan perempuan untuk dipukuli di depan umum, dipaksa mengenakan burqa, dan melarang mereka belajar ke sekolah.
Tak pelak, pesan yang masuk ke Melissa bertambah.
"Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya."
"Pray for us."
"Saya sangat takut."
Itu adalah ketakutan terhadap Taliban yang kembali berkuasa. Ketakutan akan kembali pada masa gelap yang berhubungan dengan penindasan dan belenggu. Ketakutan akan kehilangan kuasa atas takdirnya sendiri. Juga ketakutan untuk tidak lagi bisa bermimpi.
"Kebanyakan perempuan yang saya kenal memilih bersembunyi. Mereka bertanya apa saya bisa membantu mereka meninggalkan Afghanistan. Beberapa dari mereka berhasil kabur, tanpa pernah tahu apakah mereka bisa kembali ke tanah kelahiran mereka," kata Mellissa.
Bagi yang masih bertahan, rasa putus asa mulai menyeruak di antara perempuan-perempuan kuat itu karena mereka merasa dalam bahaya besar.
Seorang perempuan yang dulu mengatakan kepada Mellissa bahwa ia tak akan pernah meninggalkan Tanah Airnya, mengirimkan email, "Saya sangat takut tentang apa yang akan terjadi. Saya tidak mau anak perempuan saya tumbuh besar di sini. Situasi bertambah buruk."
Mellissa mengakui hatinya demikian terluka untuk para perempuan Afghanistan yang kehilangan kampung halaman, kehilangan mimpi, dan kehilangan masa depan.
"Dan hati saya hancur melihat negara yang saya cintai ini. Ketika saya meninggalkan Kabul bulan lalu, saya khawatir tidak akan bisa kembali ke tempat yang sama. Dan kini saya tahu, itu tidak akan pernah sama."
Seperti dikisahkan Mellissa Fung, Liz Gooh, dan Aun Qi Koh dalam film dokumenter Afghanistan: No Justice for Women, dilansir Al Jazeera (23/8/21).
KOMENTAR ANDA