Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

Kedua, siapkan kondisi yang terbaik.

Nah, kondisi terbaik akan membantu seseorang menerima kejujuran pasangannya. Ummu Sulaim tidak menangis di pelukan suaminya, apalagi guling-gulingan dan menjambaki rambutnya. Jelas sekali dirinya dalam kondisi terpukul, tetapi dia malah mempersiapkan kondisi terbaik bagi suaminya.

Terlebih dulu suaminya makan hingga tidak ada lagi masalah dengan perang perut. Kemudian Ummu Sulaim pun melakukan hubungan intim sehingga suaminya mendapatkan kelegaan.

Setelah kondisi suaminya prima, barulah kabar duka itu disampaikan. Kejujuran Ummu Sulaim tidak mengguncang mental suaminya. Karena kondisi mentalnya benar-benar siap.  

Jujur memang penting, tapi jauh lebih penting lagi kondisi yang terbaik saat menerimanya. Kita tidak bisa kecewa dengan pasangan yang terpukul, padahal yang kita sampaikan adalah kejujuran. Kondisinya mungkin yang belum tepat, sehingga kejujuran yang disampaikan malah salah diterimanya.   
Ketiga, sampaikan dengan cara terindah.

Terlebih dahulu Ummu Sulaim bertanya, apabila mereka menerima barang titipan, lalu bagaimana kalau pemiliknya datang meminta. Suaminya menyebut harus ikhlas mengembalikannya.

Nah, saat itulah Ummu Sulaim menyampaikan anak mereka yang merupakan titipan Tuhan telah diambil kembali oleh pemiliknya. Abu Thalhah pun dapat menerima dengan ikhlas kabar duka itu. Bahkan Nabi Muhammad pun memuji cara yang dipakai oleh Ummu Sulaim.

Dalam menyampaikan kejujuran, cara yang buruk hanya akan menghasilkan keburukan. Jujur tapi menyakitkan, apalah gunanya? Jujur tapi menghakimi, siapa yang tak terluka? Jujur tapi menggurui, siapa yang tidak kesal? Jujur tetapi merendahkan, siapa yang tak memberontak?

Bijaksanalah dalam kejujuran yang dapat menyelamatkan. Jujur memang baik, tetapi caranya perlu dipoles lebih manis.
 
   




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur