SEKOLAH-sekolah kedokteran di Amerika Serikat tengah berjuang memerangi rasialisme dan kesenjangan sosial dalam layanan kesehatan.
Seperti siswa tahun pertama di University of South Florida (USF) Morsani College of Medicine yang mengikuti “simulasi kemiskinan” sebagai bagian dari orientasi perkuliahan.
Para mahasiswa kedokteran ditempatkan dalam sebuah keluarga selama satu bulan untuk mengalami langsung kehidupan keluarga yang terbatas secara ekonomi. “Mereka akan melihat bagaimana rasanya berjuang memenuhi kebutuhan sekaligus menjaga keluarga tetap utuh dan memiliki tempat tinggal,” ujar Shirley Smith, Direktur Keragaman dan Pengayaan Siswa USF.
Tujuan dari simulasi ini sederhana: membuktikan hambatan sosial yang sering dialami masyarakat, sekaligus menjadi proses untuk mengajarkan para calon dokter ini bahwa tugas mereka bukan hanya mengobati melainkan juga peduli (to care and to cure).
Solusi Yang Berfokus Pada Dokter
Makin banyak sekolah kedokteran di Amerika Serikat yang ingin mengurangi kesenjangan rasial dengan meningkatkan kesadaran tentang aspek-aspek sosial dalam bidang kesehatan, berupa isu-isu seperti kurangnya transportasi, kerawanan pangan, perumahan, kemiskinan, dan isolasi yang memainkan peran penting dalam hidup seorang pasien serta kemampuannya mendapat perawatan.
“Para dokter mesti memahami konsekuensi medis dari kesenjangan sosial, bagaimana mengatasinya, juga mempelajari asal muasal dan bagaimana mengubahnya. Saat kuliah di sekolah kedokteran adalah waktu yang tepat untuk melakukannya,” kata Sarita Warrier, MD, Wakil Dekan sementara The Warren Alpert Medical School of Brown University.
Idenya adalah mematangkan konsep tersebut lalu memasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan daripada hanya menawarkannya sebagai pilihan.
Usaha tersebut juga terlihat di Wake Forest School of Medicine yang mengimplementasikan kurikulum pemerataan kesehatan untuk siswa tahun ketiga. Pelajaran tentang faktor-faktor sosial tersebut tertanam dalam semua bidang seperti bedah, penyakit dalam, maupun pediatri.
Para siswa juga ditugaskan bekerja dengan organisasi berbasis komunitas di kota Winston-Salem, North Carolina. “Penugasan tersebut sangat berdampak bagi para siswa karena apa yang mereka harus ketahui bisa mereka lihat sendiri dalam kehidupan nyata,” kata penggagas penugasan ini, Nancy Marie Denizard-Thompson, MD.
Siswa bertanya kepada para pasien tentang transportasi, bagaimana pasien mengakses perawatan kesehatan, juga tentang makanan mereka. Dengan begitu, para calon dokter tersebut memahami bagaimana menyusun program perawatan agar pasien mampu menjalankannya.
Berbagai program yang mendekatkan mahasiswa kedokteran dengan masyarakat diharapkan dapat memberi perspektif berbeda bagi para dokter masa depan. Mereka bisa melihat, ketika seorang pasien tidak menaati saran diet, bisa jadi karena ia tinggal di tempat yang sulit mengakses makanan sehat. Atau jika pasien tidak minum obat, bisa jadi karena ia tidak mampu untuk membelinya.
Membekali diri dengan pengetahuan tersebut, seorang dokter diharapkan bisa mereferensikan solusi lain seperti pertemuan dengan pekerja sosial atau mendaftarkan pasien dalam program yang membantu pasien memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Sistem Yang Rusak
Statistik kesehatan Amerika Serikat punya riwayat panjang yang suram tentang pasien non-kulit putih. Para perempuan kulit hitam enam kali berpotensi meninggal selama masa kehamilan maupun saat persalinan. Pasien dari ras dan etnik minoritas mendapat perlakuan berbeda dari dokter di IGD untuk keluhan nyeri dada, kejadian koroner akut, gejala stroke, dan cedera otak. Mereka seolah lebih mungkin meninggal di IGD dibandingkan pasien kulit putih.
Ketidakpercayaan terhadap sistem kesehatan telah mengakar di beberapa komunitas. Seperti dalam angket seputar kesehatan dan ras yang digelar Kaiser Family Foundation pada tahun 2020, diketahui bahwa 6 dari 10 orang dewasa kulit hitam mengatakan mereka tidak percaya bahwa para dokter melakukan yang terbaik untuk mereka. Dan 1 dari 5 di antara mereka bahkan mengakui pernah diperlakukan tidak adil karena urusan ras.
“Banyak pasien terus memberi tahu saya bahwa mereka merasa didiskriminasi. Dokter tidak percaya pada mereka, menolak hasil tes, perawatan, dan pengobatan,” ujar Robin Collin, DO, seorang ahli penyakit dalam sekaligus dokter anak di Durham, North Carolina.
dr. Robin selaku anggota pendiri Coalition to Advance Anti-Racism in Medicine CAAM) menjelaskan bahwa berbagai bias biasanya tertanam sejak awal dalam karier seorang dokter. Saat menjalani program pendidikan Profesi Dokter (koas, residency), para calon dokter itu hanyalah sekelompok individu yang sejatinya bersifat stereotip. Bagaimana mereka memandang cara pasien berbicara atau melihat dari mana pasien berasal.
“Ada ‘ketidakpekaan’ yang terbangun sebagai salah satu cara kami untuk bertahan, untuk hanya mencoba melewati masa itu. Namun mekanisme itu mengurangi kemanusiaan kami. Kami—para dokter, perawat, dan semua profesional kesehatan yang terkait—butuh latihan lebih mendalam tentang hal itu (bagaimana memperbaikinya-red),” ujar dr. Robin.
Direktur Pendidikan Kedokteran Pascasarjana Dignity Health, St. Mary’s Medical Center Terrie Mendelson, MD menggarisbawahi bahwa orang biasanya datang dengan bias dan keyakinan berdasarkan bagaimana mereka dibesarkan. Inilah yang mesti dihilangkan oleh siswa baru.
“Mengenali diri sendiri dan melakukan hal benar akan membantu kita memahami pemikiran kita sendiri. Juga membantu kita memahami sudut pandang pasien yang kita sering tidak menyadarinya,” kata dr. Terrie.
KOMENTAR ANDA