Bahkan sejak satu abad silam, ras telah digunakan untuk mendiagnosis dan menjadi landasan pengobatan tertentu. Meskipun penggunaan ras sebagai alat diagnosis sering tidak akurat. Misalnya saja pada VBAC Calculator (vaginal birth after cesarean) hingga tahun 2021, pasien tak hanya ditanya tentang usia dan riwayat persalinan sebelumnya tapi juga apakah mereka berkulit hitam atau latin Amerika. Padahal riset membuktikan ras bukanlah faktor yang bisa memprediksi keberhasilan VBAC.
Atau tentang Pulse Oximeter, salah satu alat medis yang paling banyak digunakan. Alat ini mengukur oksigen dalam darah dengan cahaya yang bersinar melewati jari tangan. Riset terbaru menunjukkan bahwa alat ini berpotensi tiga kali lipat salah membaca pasien berkulit gelap.
Old School vs New School
Satu dekade silam, isu-isu kesenjangan ras dan sosial masih jarang mencuat ke permukaan. Hanya sebatas perbincangan di ruang kelas, bahkan di beberapa universitas menjadi hal tabu untuk didiskusikan.
“Generasi saat ini sudah siap dengan diskusi terkait dampak rasisme dalam layanan kesehatan, namun sayangnya banyak dokter yang justru tidak siap. Saya dan teman-teman berbicara dengan para siswa tentang bagaimana menghadapi dokter lain. Bisa dibilang, itulah tantangan terbesar saat ini,” ujar dr. Sarita yang terlibat dalam implementasi kurikulum pengayaan di Brown University tahun 2015.
Dokter lain mengeluh bahwa pendekatan kepada pasien akan mengalihkan fokus dari pengobatan yang sebenarnya dan membutuhkan lebih banyak waktu. Padahal pada kenyataannya tidaklah demikian. Menambahkan satu atau dua pertanyaan yang benar-benar bisa mengungkap kondisi pasien mungkin sedikit lebih lama pada awalnya, tapi itu justru akan menghemat waktu dokter dalam jangka panjang.
Mengapa Harus Berubah Sekarang?
Banyak universitas yang sebelumnya masih ragu memasukkan isu kesenjangan ras dan sosial ke dalam kurikulum, sejak tahun lalu mulai berubah sikap. Apa motivasi terbesar mereka?
Tak lain adalah protes hebat tentang kematian George Floyd dan maraknya anggapan bahwa perawatan Covid-19 tidak proporsional bagi komunitas ras berwarna.
“Saat berada di rumah, masyarakat memiliki kesempatan untuk ‘melambat’ lalu melihat apa yang terjadi dan apa yang selama ini dikatakan orang lain ternyata memang telah lama terjadi. Tidak ada cara menyangkal kebenaran setelah menyaksikan pembunuhan keji itu. Para tenaga medis profesional akhirnya mengambil kesempatan mendorong agenda yang sudah sejak lama kami upayakan,” kata dr. Shirley dari USF.
Para siswa sekolah kedokteran berada di garis depan perubahan. Contohnya pada tahun 2014, terbentuklah White Coats For Black Lives setelah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa kedokteran University of California San Francisco dan Ichan School of Medicine, Mount Sinai, New York City. Tujuan gerakan itu adalah berjuang untuk kesetaraan dan keadilan dalam layanan kesehatan juga mendukung para mahasiswa kedokteran dari ras berwarna.
Perjuangan juga dilakukan Naomi Nkinsi, siswa tahun keempat University of Washington School of Medicine yang juga mahasiswa pascasarjana University of Washington School of Public Health. Naomi bergabung di Institute for Healing and Justice, kelompok siswa yang memerangi rasisme dalam layanan kesehatan.
Menurutnya tak heran banyak bias dalam praktik medis mengingat begitulah dulu para dokter diajarkan. “Faktanya para profesor dan pengelola layanan kesehatan tidak menyadari isu ini sampai ditunjukkan bahwa mereka dulu juga diajarkan dengan bias yang sama,” kata Naomi.
Buah Perjuangan
Masih sangat dini untuk mengukur keberhasilan kurikulum seputar keadilan sosial di sekolah kedokteran. Tapi setidaknya, semakin banyak siswa yang terbuka membicarakan pengalaman mereka.
Para siswa sekolah kedokteran ini kini telah lulus, tak hanya dengan kesadaran yang lebih besar tapi juga tekad untuk memperbaiki kesenjangan yang ada. Mereka menjadi pendukung sejati bagi pasien. Mereka diharapkan terus mengurangi kesenjangan dalam masyarakat sebagai bagian penting dari tugas mulia mereka sebagai dokter.
Seperti halnya Joel Bervell, yang tiga tahun lalu mulai kuliah di Washington State University’s Elson S. Floyd College of Medicine. Ia dan beberapa temannya terkejut melihat sekolah kedokteran terus mempromosikan bias rasial. Joel menemukan bahwa dermatologi merupakan bidang yang paling problematik. Di kelas-kelas tertentu, hampir semua contoh yang diberikan adalah penyakit pada kulit putih. Padahal kondisi umumnya pasti berbeda pada kulit gelap.
Joel lalu merilis video berseri “Racial Biases in Medicine” yang menunjukkan bagaimana kondisi-kondisi tertentu bisa muncul pada kulit putih maupun kulit yang lebih gelap. Melalui video, ia juga menunjukkan banyak hal mulai dari penyakit sel sabit (gangguan yang menyebabkan sel darah merah menjadi cacat dan rusak) bukanlah penyakit orang kulit hitam hingga bias kognitif yang digunakan NFL (National Football League) saat mengevaluasi gegar otak para pemain kulit hitam.
“Mengetahui bahwa konten dan informasi yang saya hadirkan mendorong orang untuk lebih peduli pada kesehatan dan berpotensi menyelamatkan nyawa mereka, membuat saya lebih percaya diri dan yakin bahwa saya sudah menekuni profesi yang tepat. Saya ingin menjadi bagian dari pergerakan, tidak mau hanya berdiri dan menonton. Saya benar-benar ingin membuat perubahan, saya ingin mengedukasi,” tegas Joel, seperti dilansir WebMD.
KOMENTAR ANDA