Hayya ‘alal falah itu membuat umat muslim bersungguh-sungguh meraih kemenangan, tetapi dengan suatu ukuran, apakah Allah rida atau tidak?/ Net
Hayya ‘alal falah itu membuat umat muslim bersungguh-sungguh meraih kemenangan, tetapi dengan suatu ukuran, apakah Allah rida atau tidak?/ Net
KOMENTAR

GEN pemenang itu tampaknya memang mengental di nadi setiap makhluk hidup. Ayam jantan pun bertarung habis-habisan sampai menang, padahal dirinya jelas-jelas lagi diadu. Petinju rela berduel jual beli pukulan demi menjadi pemenang sejati.

Pertarungan tak kalah sengit di medan politik, orang-orang rela mengorbankan banyak harta dan tenaga demi mencicipi manisnya jadi pemenang.

Pun, meski itu hanya lomba makan kerupuk ketika Agustusan, tetap saja orang-orang berupaya keras jadi juaranya. Hampir di segala lini kehidupan ingin kita menangkan, lalu setelah meraihnya, apakah itu kemenangan sejati? Ternyata sebagian orang bisa bingung mencari penjelasan ini di lubuk hatinya.

Pernahkah hati kita tergugah mendengar seruan azan, khususnya pada kalimat hayya ‘alal falah, artinya marilah menuju kemenangan? Pernahkah kita berpikir, apa hubungannya shalat dengan jadi pemenang?

Setidaklah dapatlah kita resapi, dalam seruan azan itu, bahwa Islam bukan hanya membolehkan tetapi malah menganjurkan umatnya mengejar kemenangan.

Ambisiuskah? Berlebihankah?

Janganlah buru-buru dalam menjawabnya. Jangan!

Mari kita resapi dulu yang berikut ini!

M. Said Al-Qahthani dan Muhammad Quthb dalam buku Memurnikan Laa Ilaaha Illallah menerangkan, hayya ‘alal falah berarti bertakwa kepada-Nya, mencari keridaan-Nya untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihad di jalan-Nya. Hayya ' ‘alal falah juga mengingatkan kita agar hidup tidak merugi, yaitu terhindar dari siksa Allah yang sangat pedih.  

Ketika mendengar seruan hayya ‘alal falah, maka kita pun bersegera meninggalkan berbagai urusan dunia, menggerakkan tubuh demi menunaikan shalat. Inilah jihad kita, yakni bersungguh-sungguh meraih keridaan Allah.

Hayya ‘alal falah itu membuat umat muslim bersungguh-sungguh meraih kemenangan, tetapi dengan suatu ukuran, apakah Allah rida atau tidak?

Maka kemampuan menjawab pertanyaan itulah yang akan mengantarkan kita kepada kemenangan sejati. Yaitu, kemenangan yang membahagiakan diri sendiri dan bahkan juga pihak yang kalah.

Saat Fathul Mekkah, Nabi Muhammad beserta kaum muslimin berhasil membebaskan Mekah dari tangan kaum musyrikin. Kemenangan besar ini menjadi luar biasa membahagiakan karena Rasulullah berseru, “Kalian bebas!”

Alih-alih melakukan aksi balas dendam, Nabi Muhammad memberikan amnesti umum, ampunan massal terhadap musuh-musuh Islam. Maka jadilah kemenangan Fathul Mekkah itu menjadi kemenangan semua.

Orang-orang modern gemar menyebutnya dengan win-win solution. Adapun orang-orang suku Minang menyebutnya, lamak dek avak katuju dek urang (enak bagi kita, orang pun setuju). Begitulah kearifan budaya yang mengajarkan hakikat kemenangan, meski memang tidak mudah untuk sama-sama menang. Terlebih di kepala manusia seperti bersarang otak reptil yang berhasrat merebut sendiri kemenangan dan hanya membagikan derita bagi pihak yang dikalahkan.    

Ketika memenangkan pilkada, sebelum bertahta di tampuk kekusaan, janganlah lupa merangkul dan menghormati pihak yang kalah. Saat memenangkan pertandingan, jangan lewatkan memeluk dan memuji pihak yang kalah. Begitu meraih juara pertama, sanjunglah pihak yang gagal meraih kejayaan.

Segala itu bertujuan agar kemenangan kita membahagiakan semua pihak.

Maka tidaklah termasuk bagian dari hayya ‘alal falah, jika kita memenangkan sesuatu dengan menghalalkan segala cara, merampas hak-hak orang lain, atau menyakiti mereka yang kalah.

Cobalah renung-renungkan lagi! Jangan-jangan kita pernah meraih kemenangan, tetapi kok rasanya hambar? Mengapa kemenangan itu malah menyakitkan bagi hati kita sendiri?

Jangan-jangan kemenangan itu kita raih dengan cara-cara yang diharamkan agama. Jangan-jangan kemenangan itu dengan menghancurkan pihak lain. Jangan-jangan kemenangan itu malah tidak diridai oleh Allah. Kalau demikian yang terjadi, maka kita bukanlah pemenang, malahan tergolong sebagai pecundang.

Dari itu, pilah-pilih dulu, berlandaskan niat apa kita ingin meraih kemenangan?

Apabila kita jadi pemenang untuk membanggakan diri dan meremehkan pihak lain, percayalah kemenangan itu akan mendatangkan malapetaka. Kursi kekuasaan yang kita raih, podium tertinggi yang kita naiki, medali yang mengalungi leher, semua itu hanya menjadi kehampaan bagi jiwa kita.

Memang tidak melulu hadiah atau materi yang menjadi tujuan meraih kemenangan itu. Lebih kepada adanya kepuasan batin, kesegaran jiwa dan kebahagiaan yang tak terlukiskan, itulah yang lebih menonjol bagi orang meraih kemenangan.

Faktor nonmateri itu pula yang dikandung oleh hayya ‘alal falah. Kemenangan sejati yang memuliakan diri kita di hadapan Tuhan. Hendaknya, hati kita tergugah, rasa percaya diri mengental, dan tekad pun membaja tatkala mendengar seruan muazin yang menyebutkan hayya ‘alal-falah.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur