DIMULAINYA Pembelajaran Tatap Muka (PTM) masih menghadirkan dilema di hati banyak orangtua, terutama para ibu.
Di satu sisi, PTM menjadi sesuatu yang mendesak menurut Mendikbud Ristek Nadiem Makarim mengingat risiko learning loss pada anak Indonesia juga memperhatikan kesehatan mental dan kesejahteraan anak akibat terlalu lama menjalani PJJ.
Sementara di sisi lain, meskipun angka kasus Covid-19 sudah jauh menurun—Pemerintah bahkan mengklaim turun 98% dibandingkan pertengahan Juli lalu—para ibu masih sangat khawatir dengan berkumpulnya anak-anak di masa PTM.
Tanya IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) IG Live, Selasa (21/9/21) yang dipandu DR. Dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH menghadirkan narasumber Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Pusat Prof. DR. Dr. Aman B. Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI(Hon) dan bintang tamu Dian Sastrowardoyo dengan tema "Di Saat PTM Tak Terhindarkan, Cara Jitu Cegah Covid-19 dan Learning Loss".
Dalam diskusi santai tersebut, Dian sebagai ibu dari dua anak yang duduk di kelas 5 SD dan kelas 3 SD menceritakan pengalaman pribadinya setelah menyetujui untuk mengizinkan anak-anaknya mengikuti PTM.
"Saya termasuk dari 20 persen orangtua siswa yang mengizinkan anaknya ikut PTM. Sekolah anak saya tergolong ketat dalam pelaksanaan protokol kesehatan. Kapasitas kelas hanya 30 persen dengan jarak antar-meja sesuai prokes, berdasarkan foto dan CCTV yang saya lihat. Mereka diperkenankan membuka masker hanya saat makan dan minum dalam waktu 15 menit, itu pun dalam pengawasan pihak sekolah," kata istri Maulana Indraguna Sutowo itu.
Dian juga berbagi pengalaman tentang efektivitas belajar anak di rumah. Menurut Dian, sama dengan banyak ibu lainnya, ia pun mengalami naik turun. Terlebih pada tahun pertama PJJ, Dian mengaku kesulitan membuat anak fokus menyimak penjelasan guru secara virtual. Tak jarang ia pun marah pada anak-anaknya.
Namun di minggu kedua percobaan PTM, Dian melihat perubahan positif. Saat anak-anaknya mulai belajar hybrid, mereka lebih perhatian dengan urusan sekolah. Mereka paham akan bertemu langsung dengan guru dan merasa bertanggung jawab untuk mempersiapkan pelajaran dan tugas sebaik mungkin.
"Sekarang mereka bisa berinteraksi sosial tidak hanya lewat layar. Mereka bisa merasakan kembali sense of community yang sempat hilang selama dua tahun terakhir. "Hilangnya interaksi sosial akibat dua tahun absen dari kehidupan sekolah di saat perkembangan otak yang belum maksimal, dampaknya sangat besar. Jika tidak diberi kesempatan membangun lagi kehidupan sosial, anak bisa tumbuh jadi pribadi yang berbeda," ujar Dian.
Simak beberapa poin penting yang dijelaskan oleh Prof. Aman dan Dr. Bernie berikut ini untuk menjawab kegundahan hati para orangtua.
Kapan sebenarnya waktu yang tepat membolehkan anak sekolah? Apa yang harus dipersiapkan?
Dampak pandemi sangat terasa menghantam dunia pendidikan. Jika learning loss terus dibiarkan, akan berkuranglah kualitas SDM Indonesia di masa depan. Namun di sisi lain, angka kematian anak akibat Covid-19 hampir 1.600 jiwa.
Insya Allah, saat ini boleh PTM. Positivity rate di bawah 8 persen. Anak didik diimunisasi, guru, dan pegawai sekolah juga diimunisasi. Rekomendasi saat ini maksimal dua jam di sekolah.
Harus ada cara untuk memonitor kegiatan anak di sekolah. Ingat, tanggung jawab sekolah bukan hanya ke pemerintah daerah tapi juga ke orangtua yang mempercayakan kehidupan dan kesehatan anaknya untuk duduk di sekolah.
Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sekolah?
Yang terpenting saat ini adalah mengejar kebutuhan akademik dan membangun kehidupan sosial anak. Untuk ekstrakurikuler dan kegiatan lain, harus ditunda dulu.
Jika ingin makan dan minum, pihak sekolah harus memastikan jarak aman antar-siswa dan waktu yang singkat.
Apa kunci agar PTM tidak menimbulkan klaster sekolah?
Pelaksanaan protokol kesehatan tidak boleh kendur. Idealnya, daripada ada klaster sekolah, lebih baik dilakukan pemeriksaan (tes Covid-19) sebelum mulai PTM. Rekomendasi IDAI dulu menyarankan pemda dan sekolah harus siap dengan rencana itu.
Satu hal lagi yang terpenting, orangtua dan sekolah harus jujur. Untuk orangtua, ketika anak ketahuan demam, jangan hanya diberikan paracetamo lalu disuruh masuk sekolah. Anak yang sakit harus tetap di rumah.
Demikian pula yang berkaitan dengan travel history anak dan orangtua. Anak yang baru pulang dari keramaian, misalnya pergi ke tempat wisata, harus menjalankan isolasi setidaknya 5 hingga 6 hari sebelum kembali ke sekolah. Atau jika orangtua (ayah maupun ibu) yang memiliki riwayat perjalanan ke beberapa kota atau luar negeri, maka anak sebaiknya juga tinggal di rumah dulu.
Orangtua juga harus jujur tentang kesiapan anak mematuhi prokes. Jika si anak masih emoh memakai masker, jangan dipaksakan untuk PTM.
Pihak sekolah juga harus jujur dengan pelaksanaan prokes. Jika ada satu anak terkena Covid-19, maka bukan hanya sekolah yang ditutup, tapi juga terlibat dalam tracing. Harus ada komunikasi antara Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan dalam hal itu.
Melihat perbedaan usia dan karakter anak, bagaimana menyikapi pembukaan sekolah?
KOMENTAR ANDA