“Industri hiburan pada akhirnya menjadi selaras dengan diplomasi dunia. Korea Selatan bisa membius dunia dengan artis dan budayanya seperti saat ini karena tak ragu mengirimkan banyak ilmuwan sosial ke Amerika Serikat untuk melakukan riset. Semua yang mereka lakukan based on data, termasuk memelajari metode pemasaran industri hiburan Hollywood agar bisa digdaya. Di situlah pentingnya peran ilmu sosial (social engineering),” ujar Devie dalam diskusi virtual RMOL World View tentang “Ngobrolin K-POP dan Diplomasi” (20/9/21).
Saat ini, pintu terbuka sangat lebar untuk membuka jalan industri hiburan menjadi diplomasi global. Terutama dengan semakin banyak platform media sosial yang menghubungkan masyarakat dunia.
Sayangnya, hasil survei tahunan Digital Civility Index (DCI) yang dirilis Microsoft pada Januari 2021 menunjukkan data bahwa warganet Indonesia dianggap paling tidak sopan se-Asia Tenggara. “Selama ini orang Indonesia dikenal sebagai sosok yang ramah. Sayangnya jejak digital kita sangat buruk,” kata Devie.
Satu hal yang wajib menjadi pembelajaran, menurut pengamat sosial dari Universitas Indonesia ini, K-Pop berjalan beriringan dengan civil society. BTS bukan sekadar boy band yang meraup keuntungan bisnis luar biasa dari industri hiburan tapi mampu menjadi influencer terutama bagi para fans (Army) untuk memiliki empati dan kepedulian terhadap berbagai permasalahan kemanusiaan di dunia. Termasuk juga mengupayakan penghapusan rasisme terhadap warga Asia.
Army di seluruh dunia menjadi barisan terdepan yang mendukung kiprah sosial BTS. Baik itu dalam memberikan bantuan langsung kepada para korban bencana alam hingga anak-anak korban kekerasan. Para anggota BTS juga tak pelit berdonasi dari kantong pribadi selain menjadi fund raiser untuk berbagai penggalangan dana.
Salah satunya dalam kampanye Love Myself bekerja sama dengan UNICEF Korea yang dimulai pada tahun 2018, penggalangan dana tersebut tercatat telah mengumpulkan 2,98 juta USD pada Maret 2021 lalu.
“Salah satu teknik branding adalah relevansi. BTS berusaha selalu relevan dengan hal-hal yang bergesekan dengan fans mereka. Dan itu adalah desain yang sistematik. Itu bukan pencitraan, tapi secara pribadi diminta untuk berlomba-lomba menjadi orang yang peduli,” kata Devie.
Dengan demikian, relevansi bukan hanya dirasakan saat orang mendengar lagu BTS. Tapi kiprah mereka di dunia nyata pun relevan dengan kondisi dunia. Lagu yang universal ditambah aksi sosial yang berdampak global. Tampak jelas bahwa manajemen yang membawahi mereka memang memiliki konsep yang ‘tajam’.
Bagaimana dengan artis Indonesia? Bukankah negara kita memiliki banyak talenta dengan bakat luar biasa di dunia hiburan? Tapi mengapa artis Indonesia yang go international seolah berjalan sendiri tanpa dukungan pemerintah?
“Lagi-lagi, kita (masih) butuh waktu. Saat ini manajemen artis sudah makin baik. Pemerintah juga sudah membuka ruang yang sangat terbuka. Kita harus sabar dan terus menunjukkan keberpihakan terhadap negeri ini. Kita perlu berdiam diri sejenak, mereflesikan diri, mau ke mana? Meniru apa yang dilakukan Korea boleh saja, tapi kita pun harus ‘menggelar karpet merah’ di dalam negeri untuk selebriti kita ke mancanegara.”
“Ngefans dengan orang asing, boleh. Tapi banggalah dengan kebangsaan kita. Bagaimana menampilkan sesuatu yang berbeda, yang menunjukkan kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Anak muda Indonesia harus berani memamerkan kebudayaan Indonesia di pentas global,” pungkas Devie.
KOMENTAR ANDA