Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

PEREMPUAN itu yang paling lama kalau urusan berdandan, yang membuat teman-temannya terkadang kesal menunggu. Dan yang mengganjal hati mereka, ibu beranak tiga itu berpenampilan menor; bedak tebal dan berbagai kosmetika yang membuatnya justru tampak aneh.

Mereka mencoba untuk berprasangka baik, barangkali begitu resepnya agar tetap mempesona. Maklum suaminya adalah motivator yang sedap pula dipandang oleh kaum hawa.

Prasangka baik itu memudar seiring lunturnya make up oleh air wudu. Meski perempuan itu berupaya menyembunyikan, rekan-rekannya melihat jelas lebam-lebam yang membiru hingga menghitam.

Mereka pun tahu mengapa perempuan itu tangannya terkilir atau jarinya patah. Singkat kata, telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diendapkan bertahun-tahun lamanya, bersembunyi di balik tebalnya kosmetika.

Teman-teman mendesak, orangtuanya pun meradang. Keinginan mereka perkara kekerasaan ini harus dilaporkan kepada kepolisian, ke bagian perlindungan perempuan dan anak.

Perempuan itu bersikeras menolak. Dia rela menjadi samsak hidup demi mempertahankan rumah tangga. Tak tega dirinya menyaksikan pamor suami sebagai motivator spesialis keluarga bahagia menjadi binasa. Dan yang paling ditakutkannya, perceraian adalah aib yang lebih menyakitkan daripada pukulan dan hantaman suaminya.

Kita hentikan ceritanya sampai di sini dulu, karena ada beberapa aspek yang menarik untuk dikupas.

Zaitunah Subhan dalam bukunya Al-Qur'an Dan Perempuan menyebutkan, hadis riwayat Abd. Al-Razzaq dari Aisyah, Rasulullah bersabda, “Tidakkah salah seorang di antara kalian merasa malu memukul istrinya seperti memukul budak, yang ia pukul pada siang hari lalu ia kumpuli pada malam hari? (HR. Bukhari Muslim)

Dapat diambil suatu pengertian bahwa sesungguhnya memukul istri merupakan sesuatu yang sangat jelek, bahkan tidak pantas dilakukan oleh laki-laki yang baik. Sebagaimana berulang kali disebutkan oleh sabda Rasulullah tanda atau ciri laki-laki yang baik yaitu berbuat baik terhadap istri.

Dan kian menarik pembahasan ini jika merujuk surat Al-Maidah ayat 8, yang artinya, “Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”

Boleh jadi suami membenci istrinya, sehingga dia bisa menegur, memperbaiki atau bahkan menceraikannya baik-baik jika perilaku istrinya amatlah buruk, berbahaya dan mendurhakai ajaran agama. Akan tetapi, atas alasan kebencian tidak diperbolehkan memukuli istri, karena itu perbuatan yang tidak adil, yang merampas hak-hak asasinya.

Di balik berbagai kisah kelabu terkait KDRT, terdapat sejumlah hal yang patut diamati, di antaranya:
Pertama, kekerasan itu kadang dipahami oleh sebagian istri sebagai cara suami mendidik dirinya.

Tanpa bermaksud blaming the victim (menyalahkan korban), tetapi pelaku kekerasan makin brutal bahkan ketagihan disebabkan korban yang tidak memiliki self defence.

Pola pikir kekerasan suami adalah model pendidikan jelas melemahkan posisi perempuan, yang seharusnya menolak bahkan melawan, tetapi malah pasrah. Cara ini memang tidak menimbulkan pertengkaran, tapi membuat kekerasan itu terus terjadi, terus berulang-ulang.

Padahal, pada beberapa kasus, ketika korban berani menolak, membantah dan melawan, ketika itu pelaku kekerasan jadi ketakutan atau keder sendiri. Perempuan tidak dapat memelihara mental Cinderella, yang mengharapkan bantuan pihak lain. Namun, bangkitlah dengan kekuatan dan keberanian diri sendiri.

Kedua, perlindungan terhadap korban masih lemah. Parahnya, masyarakat seperti memaklumi aksi KDRT, toh itu kan istrinya sendiri. Kecuali yang dipukuli ayam tetangga, barulah warga marah.

Anehkan?

Suatu hari terjadi suami memukuli istri mudanya di tengah jalan. Orang-orang hanya menonton dengan tenang, tidak ada yang melerai. Giliran ada seorang pendatang yang yang kebetulan lewat mencegahnya, bapak-bapak di warung kopi meneriaki agar dia tidak ikut campur rumah tangga orang.
Ketika perempuan muda itu berhasil lari ke rumah orangtuanya, sejenak dia mendapatkan perlindungan.

Kemudian, orangtua kembali mengantarkan putrinya pulang, dan kembali menjadi sasaran amukan suaminya. Akhirnya, daripada lebih parah, sang istri muda memilih diam saja menerima kekerasan.

Sebetulnya, peran optimal masyarakat akan sangat berpengaruh dalam perlindungan korban KDRT, karena merekalah yang melihat langsung dan berperan besar memperkuat jaring pengaman sosial.

Selain itu, jalur hukum akan memberi efek jera dan balasan yang setimpal bagi pelaku, semisal laporan kepada kepolisian atau yang berujung pengadilan. Siapapun orangnya, setiap pelaku kekerasan harus mempertanggung jawabkan kebiadabannya. Ini negara hukum, tidak ada satu pun yang kebal hukum hingga bisa berbuat seenaknya.

Ketiga, perceraian tidak boleh dijadikan tekanan bagi korban.

Perceraian itu memang aib, memang dibenci Allah, tetapi bukan dibebankan kepada korban dong. Malahan, kekerasan yang tidak dapat ditoleransi atau tidak lagi dapat diselesaikan, maka perpisahan itu yang akan melindungi hak-hak kemanusiaan korban.

Memang sih tidak serta merta setiap kekerasan langsung berujung perceraian; karena masih ada mediasi, terapi kejiwaan, dan berbagai langkah solutif, yang semuanya bertujuan agar pelaku pulih kembali dan korban mendapatkan hak-haknya lagi.    




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur