Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

BUNDA, saat ini sistem pembelajaran di Indonesia untuk anak usia dini perkembangannya cukup cepat. Untuk anak usia dini, yang belajar di TK maupun PAUD, sudah mulai diajarkan berhitung dan membaca cepat.

Bahkan dari pengamatan Farah.id, anak TK kelas kecil saja sudah diajarkan hitungan tambah kurang, yang angkanya sudah lebih dari 5.

Untuk beberapa orangtua mungkin sistem pembelajaran seperti ini biasa saja. Apalagi kalau si kecil bisa mengikutinya dan dengan cepat bisa membaca serta menguasai hitung-hitungan.

Namun nyatanya, bagi anak sistem pembelajaran tersebut terlalu cepat. "Too much too soon", begitu Orissa Anggita Rinjani, seorang psikolog pendidikan, menyebutnya.

"Anak jadi terkesan 'dipaksa' untuk belajar banyak di usianya yang masih dini. Saya pernah membaca suatu infografis bahwa di zaman sekarang anak bermain bebas itu 8 jam saja. Ada yang waktunya habis untuk les gambar, les kumon, les komputer, dan lainnya. Lalu, kapan mereka main?" tulis Orissa, mengutip akun Instagramnya.

Memang sulit bagi orangtua untuk merasa tidak tertinggal, karena nyatanya keadaan memaksa hal tersebut. Pun yang ahli teori perkembangan anak masih pula berpikir, "Do I stimulate my kids enough?".

Namun nyatanya, di balik itu semua ada sindrom yang menghantui anak, yang dalam istilah medis disebut "Hurried Child Syndrome", yaitu kondisi di mana orangtua over-schedule jadwal harian anak-anak, memberikan tuntutan akademis berlebih dan mengharapkan anak berperilaku seperti miniatur orang dewasa.

Hurried Child Syndrome pertama kali dikenalkan oleh psikolog Dr David Elkind dalam bukunya "The Hurried Child: Growing up Too Fast".

Apa Tanda-tandanya?

Terkadang, orangtua tidak sadar sudah 'memaksa' anak menanggung beban berat di pundaknya. Namun orangtua perlu sadar akan bahaya hurried child syndrome ini.

Berikut tanda-tanda yang perlu diketahui:

1. Jadwal anak terlalu padat dengan kegiatan sekolah, les, maupun kursus, sehingga mereka hanya punya sedikit waktu untuk bermain bebas.

2. Anak berada di bawah tekanan tinggi untuk berprestasi, menjadi sangat kompetitif di ajang-ajang lomba.

3. Dandanan dan perilaku menyerupai orang dewasa (menggunakan make up, lebih banyak hapal lagu orang dewasa ketimbang lagu anak-anak, adegan cinta/kekerasan di film anak, dll).

4. Anak dituntut bisa baca, tulis, hitung dengan cepat. Bahkan ada tes masuk SD atau TK.

Mengapa Hurried Child Syndrome Bisa Terjadi?

Ada banyak alasan mengapa hurried child syndrome ini bisa terjadi, salah satunya adalah tuntutan zaman. Anak dituntut cepat menangkap keadaan dan situasi di sekitarnya. Alasan lainnya yaitu:

• Semua orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Namun ada perbedaan antara stimulasi sesuai usia yang mendorong tumbuh kembang anak optimal, dengan memberi beban berlebih yang justru bisa jadi bumerang bagi perkembangan anak.

• Sebagian orangtua ingin anaknya cepat dewasa, sehingga mudah menanganinya. Tidak perlu ditemani kemanapun, tidak perlu apa-apa dibantu, tidak takut saat semua barang masuk ke mulut, tidak cemas saat tantrum di supermarket, dan yang terpenting lebih paham aturan.

• Saat ini kebanyakan orangtua merasakan social pressure atau tekanan sosial berlebih, yang menginginkan anaknya lebih cerdas dari teman-temannya atau tidak mau ketinggalan karena takut dibilang "bodoh".

• Kemajuan teknologi yang memudahkan menerima akses kemanapun, sehingga mengaburkan batasan usia.

Dampak Hurried Child Syndrome pada Anak

Kondisi seperti ini sebenarnya sangat mengkhawatirkan bagi tumbuh kembang anak. Tidak heran jika kemudian banyak anak bosan belajar atau malah menjadi stres.

Menurut Orissa, yang juga co-founder @rumah.dandelion, ada beberapa dampak dari hurried child syndrome yang perlu menjadi perhatian serius orangtua:




Mengajarkan Anak Usia SD Mengelola Emosi, Ini Caranya

Sebelumnya

Jadikan Anak Cerdas Berinternet Agar Tak Mudah Tertipu Hoaks

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Parenting