NAPAS perempuan itu terengah-engah saat berlari. Mukanya pucat pasi membiaskan ketakutan yang teramat sangat. Dia tidak berkata sepatah kata pun kepada seorang lelaki yang berdiri di sana.
Kemudian perempuan itu pun bersembunyi.
Tak lama kemudian, datanglah beberapa pria, di antara mereka menggenggam senjata tajam. Salah seorang di antaranya bertanya, “Apa kamu melihat perempuan berbaju merah lari ke sini?”
Lelaki itu tenang-tenang saja. Terlebih dulu ia melangkah ke depan satu langkah saja, sehingga posisinya makin dekat dengan si penanya. Lalu lelaki murah senyum itu berkata, “Selama aku berdiri di sini, tidak ada terlihat seorang perempuan pun!”
Tak mau kehilangan mangsanya, orang-orang itu pun memburu ke arah lain.
Apakah perempuan itu selamat? Kemana perginya orang-orang yang mengejar? Bagaimanakah akhir kejadian tersebut?
Sayang sekali, semua pertanyaan itu tidak akan dijawab di sini. Karena tulisan ini tidak bertujuan membahas kejadian perkara, melainkan mengupas perihal jawaban yang dilontarkan oleh lelaki tersebut.
Akan ada perbedaan pendapat tentunya; ada yang mengatakan lelaki itu telah berdusta, ada yang menyebut lelaki itu berbohong putih, dan ada pula yang meyakini lelaki itu malah berkata jujur.
Mari kita telusuri!
Pendapat pertama mengatakan lelaki itu telah berdusta. Karena jelas-jelas dia melihat perempuan itu berlari ketakutan lalu bersembunyi. Lelaki itu telah mendustai pandangan mata kepalanya sendiri. Dia tidak berkata jujur. Sekali dusta tetaplah dusta, apa pun alasannya.
Pendapat kedua menyebutkan lelaki itu berbohong putih. Dia memang tidak berkata jujur, tetapi tujuannya amatlah mulia, yaitu menyelamatkan nyawa manusia. Apalah artinya sebuah kebohongan dibandingkan keselamatan kehidupan seorang perempuan tidak berdaya. Malahan bohong ini termasuk golongan putih, alias dusta yang diperbolehkan, mengingat manfaatnya yang teramat besar.
Pendapat ketiga malah meyakini lelaki itu berkata jujur atau tidak berdusta sama sekali. Ada buktinya lho!
Sebelum menjawab pertanyaan, lelaki itu maju satu langkah terlebih dahulu. Kemudian barulah dia mengatakan, “Selama aku berdiri di sini, tidak ada terlihat seorang perempuan pun!”
Jujur toh ucapannya!
Bukankah lelaki itu sudah berpindah tempat satu langkah, dan di tempatnya berpijak yang baru itu tidak terlihat olehnya perempuan itu? Lagi pula, bukankah pertanyaan orang-orang yang mengejar itu,
“Apakah melihat?” bukannya, “Apakah mengetahui?”
Sidang pembaca pun boleh terbelah di antara tiga pendapat ini. Bebas!
Namun, ada baiknya pula kita menelaah perspektif agama tentang dusta.
Di antaranya surat An-Nahl ayat 105, yang artinya, “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah pembohong.”
Kurang apalagi kecaman Al-Qur’an terhadap pendusta, ayat ini malah menyebutnya sebagai orang yang tidak beriman. Benar-benar berat posisi pendusta itu!
Akan tetapi makin menarik jika dibahas pula sebuah hadis yang teramat populer. Bahkan, Wahbah Az-Zuhaili mengutipnya dalam Tafsir Al-Munir Jilid 6, Ibnu Abi Syaibah dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Asma binti Yazid dari Nabi saw. bersabda, “Semua dusta menjadi ketetapan dosa atas anak Adam kecuali seseorang yang berdusta dalam tipuan perang atau menengahi dua orang yang berselisih atau seseorang yang merayu istrinya untuk menyenangi hatinya.” (HR. Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad)
Dalam kehidupan keseharian boleh jadi kita telah terbiasa dengan kandungan hadis ini.
Misalnya, seorang suami yang memuji istrinya, “Engkaulah perempuan tercantik di dunia.” Kalimat sanjungan ini mendamaikan hati dan meredakan pertengkaran. Padahal suami itu menyadari betapa banyak perempuan yang lebih cantik dari istrinya.
Contohnya, seorang dokter terus didesak oleh pasiennya, “Apakah penyakit saya berbahaya?”
Dokter itu terus berkata, “Ah, kamu baik-baik saja! Rajin saja minum obat!”
KOMENTAR ANDA