Di bawah binaan Meena Asadi, Dojo CRSKC kini memiliki lebih dari 30 murid, termasuk anak-anak perempuan pengungsi dari Iran, Afghanistan, dan Pakistan/ Foto: Courtesy UNHCR
Di bawah binaan Meena Asadi, Dojo CRSKC kini memiliki lebih dari 30 murid, termasuk anak-anak perempuan pengungsi dari Iran, Afghanistan, dan Pakistan/ Foto: Courtesy UNHCR
KOMENTAR

PERJALANAN hidup yang berat dan berliku membuat seorang pengungsi Afghanistan, Meena Asadi, mampu menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi unggul dalam arena yang didominasi kaum pria.

Meena Asadi (28) telah berada di Indonesia sejak tahun 2015. Satu tahun kemudian, ia membuka dojo (tempat bertanding dan latihan karate) yang diberi nama Cisarua Refugee Shotokan Karate Club (CRSKC) di Cisarua, Bogor.

Dojo CRSKC kini memiliki lebih dari 30 murid, termasuk anak-anak perempuan pengungsi dari Iran, Afghanistan, dan Pakistan. Usia para murid beragam, dari 6 hingga 37 tahun. Mereka berlatih tiga kali seminggu dengan durasi 2 jam setiap pertemuan.

Di tempat ini, anak-anak dan remaja mengenakan pakaian karate putih mereka mempelajari karate dengan riang dan semangat. Sesekali tawa mereka membahana di ruangan bercat biru tersebut.

Di bawah bimbingan Meena, banyak murid yang berhasil meraih sertifikat peringkat sabuk resmi. Meena juga menjalin hubungan yang erat dengan banyak atlet karate Indonesia dan Institute of Karate-Do Indonesia (INKAI).

Mengenal karate hampir 16 tahun lalu, bela diri asal Jepang itu menjadi passion dalam hidupnya. "Karate maknanya sangat penting bagi saya. Karate menghadirkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk bisa mengatur hidup saya," ujar Meena seperti diberitakan situs resmi UNHCR.

Berjuang Sejak Belia

Terlahir tahun 1992 di Afghanistan, Meena mengakut tak memiliki kenangan indah tentang masa kecilnya. Kondisi saat itu penuh konflik dan perang. Taliban berkuasa. Tak ada musik dan film. Anak perempuan tak boleh berpendidikan tinggi dan perempuan tak boleh bekerja.

Hingga perang Taliban dan koalisi Amerika Serikat pecah tahun 2001. Afghanistan dipenuhi bom, serangan udara, dan tembakan yang membahana sepanjang hari. Kondisi tersebut memaksa Meena dan keluarganya terbang ke Pakistan. Di sana, mereka tinggal selama enam tahun, di sebuah kamp pengungsian dekat dari sebuah tempat latihan karate. Ia pun jatuh cinta pada karate.

Semua berawal dari rasa penasarannya. "Saya melihat anak laki-laki bebas melakukan olahraga apa pun. Saya penasaran mengapa saya tidak bisa melakukan hal yang sama. Mengapa terlahir sebagai anak perempuan menghentikan saya dari melakukan olahraga yang saya suka dan aktivitas sosial lainnya?" kenang Meena.

Bukannya menyerah, Meena justru termotivasi untuk mengejar karier profesional karate. Ia juga ingin mendobrak stigma tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak perempuan.

Di balik semua tantangan dan rintangan menjadi pengungsi di negeri orang, kecintaannya terhadap karate tak pernah pudar. Ia aktif mengikuti berbagai kompetisi hingga berhasil mengumpulkan total 30 medali!

Tak hanya di Pakistan, Meena juga mengikuti South Asian Games 2010 dan sukses meraih 3 medali perak. Ia juga mengikuti South Asian Karate Championship di India tahun 2012 sebagai satu-satunya atlet perempuan mewakili Afghanistan dan meraih 2 medali.

Pada tahun 2011, ia bersama sang suami, Ashraf Jawadi, sempat kembali ke Afghanistan. Di sana, Meena membuka dojo.

"Saat itu karate masih asing di Afghanistan. Orang-orang yang berpikiran sempit mengatakan karate adalah olahraga orang asing. Dan anak perempuan tidak boleh mengikuti olahraga ini," kata Ashraf kepada Channel News Asia.

Berita tentang kemenangan Meena di ajang internasional dan konsistensinya membela persamaan gender membuat perempuan itu menjadi target Taliban dan para pengikutnya. Mereka bahkan melempari dojo dengan batu dan kerap mengganggu para murid, terutama anak-anak perempuan sepulang berlatih karate.

"Tak ingin takluk terhadap rintangan yang dihadapi, Meena berusaha terus bertahan demi menyuntikkan semangat bagi anak-anak perempuan untuk berprestasi di bidang olahraga. Namun hari demi hari, kesulitan dan masalah yang kami hadapi semakin menggila," ungkap Ashraf.

Hingga suatu hari di tahun 2015, Taliban menjatuhkan bom di dekat dojo milik Meena. Mau tak mau, Meena, Ashraf, dan putra mereka Setayesh—yang kala itu berusia satu tahun, kembali pergi meninggalkan Afghanistan. Ketiganya menuju Indonesia setelah mendapat saran dari beberapa teman.
Pantang Menyerah untuk Menginspirasi

Di tahun 2018, Meena mendapat sertifikat sebagai Dan-3 dari Karatenomichi World Federation (KWF), sebuah organisasi karate internasional yang bermarkas di Tokyo, Jepang.

Baru-baru ini, Meena juga berpatisipasi dalam kompetisi yang diikuti 300 peserta dalam Wali Kota Bogor Cup. Dalam kompetisi virtual tersebut, para atlet mengirimkan video karate yang akan dinilai para juri. Hasilnya, Meena memenangkan medali emas.

Hidup sebagai pengungsi di sebuah negara asing bisa menjadi sangat berat baik bagi anak-anak maupun orang dewasa. Melansir CNA, Indonesia sebagai negara transit tidak memberikan status kewarganegaraan bagi para pengungsi. Negara juga melarang mereka bekerja dan hingga tahun 2017, melarang anak-anak pengungsi untuk bersekolah.

Menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), pada akhir 2020 tercatata lebih dari 13 ribu pengungsi yang terdaftar. Dan masih banyak lagi para pencari suaka yang sedang memproses status verifikasi pengungsi mereka dari UNHCR.

Dengan kembalinya Taliban ke puncak kekuasan menyusul ditariknya militer Amerika Serikat, Meena mengungkapkan ketakutannya pada masa depan Afghanistan. Terlebih lagi, ia sangat mengkhawatirkan orangtua dan saudara-saudara yang masih berada di sana.




Menutup Tahun dengan Prestasi, dr. Ayu Widyaningrum Raih Anugerah Indonesia Women Leader 2024

Sebelumnya

Meiline Tenardi, Pendiri Komunitas Perempuan Peduli dan Berbagi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Women