Diskriminasi
Yang kita tidak tahan di Tanah Air itu hanya gegernya. Bukin panik rakyat. Saling silang pendapat di tengah masyarakat. Antara otoritas versus pengamat. Tambah seru karena penanganan otoritas serba paradoks. Koordinator penanganan COVID-19 Jawa Bali, Luhut Binsar Panjaitan, Selasa (4/1), mengumumkan Omicron sudah menyebar ke mana-mana. PPKM Jawa - Bali pun dinaikkan kembali levelnya ke Level 2.
Namun, saat bersamaan pemerintah memangkas masa karantina bagi pendatang dari luar negeri. Padahal, jelas-jelas varian itu dibawa pendatang dari luar negeri. Tadinya karantina 10 hari (dari negara yang bukan konsentrasi Omircon) menjadi 7 hari. Sedangkan pendatang dari negara yang terkonsentrasi Omicron semula 14 hari menjadi 10 hari. Sementara itu pelajar sudah mulai sekolah tatap muka sejak Senin (3/1) dengan kapasitas 100 %.
Rasanya, tidak lama lagi soal vaksin ketiga ( booster) kembali akan memicu gaduh di tengah masyarakat. Pemerintah merencanakan kick - off vaksin booster untuk masyarakat umum, 12 Januari.
Berbayar atau gratis? Tunggu putusan yang akan diumumkan pemerintah dalam waktu dekat. Mengacu pada UU No 6/2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan sebenarnya menjadi kewajiban pemerintah melindungi masyarakat.
" Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari- hari lainnya selama karantina. ( Pasal 8). Soal karantina dan lama karantina juga bikin gaduh. Berubah- ubah.
Tantowi Yahya, mantan Dubes RI di New Zealand, sepulang ke Tanah Air, menjalani karantina 10 hari. Hari Selasa Tantowi sudah menjalani 8 hari karantina. Sempat dia tanya, apakah ketentuan baru soal karantina berlaku surut? Dia bertanya di WAG. Saya meresponsnya dengan kelakar.
" Anggap saja lagi berpuasa Pak Dubes. Yang lebaran ( karantina) cepat, berarti Muhammadiyah. Yang lebarannya belakangan, NU. Ikut pemerintah".
Ada juga diskriminasi dalam aturan karantina ini. Sempat dinikmati anggota DPR-RI, Mulan Jameela, dan keluarga secara terang-terangan.
Ada juga permainan agency hotel. Sebenarnya, itu tak perlu terjadi tempo hari jika otoritas konsisten memberlakukan aturan yang ada. Atau: bebaskan saja para pendatang dari luar negeri karantina di rumah masing- masing dengan persyaratan ketat. Sambil dipantau melalui aplikasi satgas COVID-19.
Kalau melanggar, baru dikenakan sanksi dan denda berat. Metode itu berlaku di beberapa negara. Buat apa pula bikin aturan yang ujungnya hanya memberatkan keuangan negara maupun rakyat yang sudah payah akibat pandemi.
KOMENTAR ANDA