Laksana sebutir padi, jadilah insan yang menebar manfaat, niscaya kita akan mengalami hidup yang amat berharga/ Net
Laksana sebutir padi, jadilah insan yang menebar manfaat, niscaya kita akan mengalami hidup yang amat berharga/ Net
KOMENTAR

SUNGGUH singkat sekali kehidupan di dunia nan fana ini. Baru kemarin rasanya kita menjadi kanak-kanak, dan kini malah sudah jadi kakek-nenek. Masih segar di ingatan masa-masa kenangan indah bermain-main dahulu, dan ternyata teman-teman sepermainan itu telah banyak beralih ke alam baka.

Dengan semakin matangnya usia, manusia makin sering bertanya kepada dirinya sendiri. Bagi yang masih miskin, tidak henti bertanya kapan hidup kaya atau setidaknya berkecukupan. Bagi yang terlanjur kaya, dirundung tanya kok tidak bahagia.

Bagi yang tidak berpangkat, bertanya-tanya kapan dirinya akan menikmati empuknya singgasana kekuasaan. Bagi yang sudah punya jabatan tinggi, dihantui pertanyaan mampukah menjalani hidup setelah lengser dari posisi di atas.

Pertanyaan-pertanyaan itu akan banyak sekali variasinya, tetapi mengerucut pada suatu fokus, yaitu pencarian atas jati diri yang membutuhkan pengakuan atas eksistensi dirinya di kehidupan yang teramat singkat ini.

Manusia tentu tidak mengharapkan hidupnya hanyalah menjadi debu dunia, dan terpujilah mereka yang masih berjuang untuk menjadi berlian, yang kehadirannya demikian berharga, tinggi sekali nilainya.

Namun, tidak setiap insan mampu memoles dirinya bagaikan kilauan berlian. Kisah hidup kita berbeda-beda, jatuh bangun itu lumrah terjadi. Dan ada satu hal yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia, yaitu takdir Tuhan.

Jalan hidup yang kita jalani merupakan takdir yang tidak dapat digugat. Tetapi, itu bukan berarti kita tidak dapat memiliki hidup yang berharga, meski tidak berhasil menjadi sebutir berlian.

Caranya bagaimana?

Tentunya banyak cara, banyak sekali!

Setidaknya kita dapat menjelma jadi sebutir padi, yang akan tumbuh, melahirkan bulir-bulir padi lainnya, yang kemudian berkembang menjadi hamparan persawahan, yang setelah panen akan memberikan kenyang, pelipur lapar bagi umat manusia.

Intinya, jadilah insan yang menebar manfaat, niscaya kita akan mengalami hidup yang amat berharga.

Tersebutlah seorang bapak tua berdasi rapi dengan sebuah tas hitam yang lagi antri di halte busway.

Dari penampilannya terlihat betapa sederhana hidup yang dijalani, kemana-mana naik bus, yang tak jarang mesti berdiri.

Kakek itu berkata penuh semangat, “Saya mengajar di banyak perguruan tinggi.”

Lho, kok tidak pensiun saja, lalu santai-santai di rumah?

Dia ingin menjadi sebutir padi. Ilmu yang ditebarnya akan terus memberi manfaat, bagi dirinya dan juga bagi kehidupan anak didiknya.

Dan kesibukan mengajar di banyak universitas itu menjadi amat berharga bagi kesehatannya. Dia mengaku, “Agar otak saya bekerja terus, jadi tidak pikun.”

Pada usia yang sudah renta, langkah kaki nenek itu masih gagah menapaki pagi yang berkabut. Dia tetap tangguh menggendong bakul jamu. Sebetulnya, nenek itu dapat saja menghabiskan masa tua berleha-leha di rumah.

“Saya suka jalan pagi,” ujarnya tersipu.

Tapi, kok jualan jamu segala?

“Buat sedekah!” sahutnya.

Nenek itu mencari para pelajar kurang mampu untuk diberi bantuan hasil dari kerja kerasnya. Ia tidak sempat bersekolah tinggi. Jadi dirinya ingin menjadi sebutir padi, memberi harapan bagi anak-anak bangsa lainnya.

Mari kita sibak kembali sirah nabawiyah!

Nabi Muhammad memulai perjuangan heroik dakwah Islam ketika dirinya berumur 40 tahun. Ketika itu beliau dalam kondisi teramat kaya raya, demikian pula istrinya Khadijah yang tajir melintir. Dan saat itu yang dimiliki Rasulullah jelas bukan hanya senilai sebutir berlian lho!




Menyongsong Resesi 2025 dengan Ketenangan Batin

Sebelumnya

Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur