“DULU kita terlena di zona nyaman. Lalu Tuhan datangkan pandemi, yang membuat kita harus inovatif,” ucapnya dengan senyum bergetar.
Lelaki yang jenggotnya mulai ubanan itu punya perusahaan yang membanggakan. Kantor-kantor cabangnya bertebaran di kota-kota besar Indonesia, anak buahnya tentulah banyak pula.
Kemudian datanglah Covid-19 yang hampir dua tahun ini memporak-porandakan ekonomi dunia. Banyak perusahaan yang harus gulung tikar, atau bahkan sekalian terpaksa kehilangan tikarnya.
Lelaki itu dengan gagah perwira berjuang mempertahankan perusahaan, dan mati-matian tidak melakukan PHK. Pahit sekali bagi dirinya kalau sampai memecat karyawan yang mengabdi belasan bahkan puluhan tahun. Baginya pekerja bukanlah beban, melainkan aset utama perusahaan itu sendiri.
Kini senyumannya mulai merekah lagi. Dari hasil perjuangan bersama karyawan, berbagai inovasi telah terbuka lebar. Sehingga keuangan perusahaan sudah mulai pulih, meski belum sesehat masa dahulu.
Pada intinya, pria itu mengajak segenap karyawannya memandang pandemi dengan penuh syukur.
Karena begitulah cara Tuhan membuat hamba-hamba-Nya bergerak, untuk terus move on, dan jangan menjadi air tergenang yang akhirnya malah membusuk.
Kita pun dapat memaklumi bila ada di antara orang yang belum mampu melihat pandemi dari kacamata syukur. Karena ini memang bukan perkara gampang! Lha, bagaimana mau bersyukur kalau hidup kita dibuatnya ngilu begini?
Namun, Al-Qur’an telah memberi teladan terkait karakter unggulan ini. Di antara insan yang mampu bersyukur dalam musibah teramat berat adalah Nabi Ayyub. Iblis bersama para sekutunya menghancurkan semua bisnis Nabi Ayyub, meruntuhkan istananya, menjadikan semua anaknya meninggal dunia, memberi penyakit kulit menjijikkan yang membuatnya terkapar tanpa daya, sehingga masyarakat pun mengucilkannya.
Iblis dibuat keki karena Nabi Ayyub tidak goyah sedikit pun keimanannya pada Allah Swt. Keteguhan hati Nabi Ayyub ini tercermin dari percakapannya dengan istri tercinta.
Bey Arifin dalam bukunya Rangkaian Cerita Dalam Al-Qur’an (1952: 292) menceritakan, istrinya bertanya, “Kenapa engkau tidak berdoa kepada Allah agar melenyapkan kesedihan dan petaka atas dirimu ini?”
Nabi Ayyub balik bertanya, “Berapa tahunkah kita mendapatkan kesenangan?”
Istrinya menjawab, “Selama berpuluh-puluh tahun.”
“Berapa tahunkah kita menderita?” tanya Nabi Ayyub.
“Baru tujuh tahun,” jawab istrinya pula.
“Dari itu aku malu kepada Allah meminta hilangnya petaka yang sebentar ini,” ucap Nabi Ayyub.
Tujuh tahun, Saudara-saudara! Itu yang dikatakan Nabi Ayyub sebagai cobaan yang sebentar. Ya, dia bilang yang tujuh tahun itu sebagai sebentar!
Iblis kalah telak, dan janji Allah Swt. pun menjadi kebenaran. Penyakit kulitnya hilang, ketika Tuhan menerbitkan mata air dari kakinya Nabi Ayyub. Kekayaannya berlimpah-ruah, keluarganya bahagia. Dia mendapatkan kejayaan yang lebih menakjubkan.
Tak terbantahkan lagi betapa dahsyatnya bantuan Allah Swt. kepada Nabi Ayyub, yang diterangkan surat 41-42, yang artinya, “(Allah berfirman), “Hentakkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum. Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipatgandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang berpikiran sehat.”
Mari kita bayangkan betapa dramatisnya apa yang dilakukan oleh Nabi Ayyub, karena mampu bangkit dari keterpurukan. Dan dengan amat impresif Nabi Ayyub dapat membalikkan keadaan; anak-anaknya bertambah banyak, kekayaannya berlimpah ruah, istananya lebih megah, perniagaan dan pertaniannya maju pesat, kehormatan dirinya menjulang tinggi dan keutamaan lainnya.
Semua itu memang anugerah Ilahi, tetapi tidak begitu saja jatuh dari langit. Untuk memperoleh kegemilangan nan ciamik, Nabi Ayyub tentunya melakukan berbagai terobosan, dan mesti lebih inovatif lagi.
Sederhananya begini!
Sangat mudah bagi Allah Swt. menjadikan siapapun hamba-Nya kaya raya dan tentunya bahagia. Namun, ada syarat yang tidak dapat dibantah lagi, yakni ikhtiar (usaha). Nah, untuk memperoleh hasil yang luar biasa dibutuhkan di dalam ikhtiar kita itu sesuatu yang disebut inovasi.
Apabila di masa pandemi ini kita terus gigih menelusuri jalan-jalan inovasi, insyallah kita akan menemukan hikmah di balik musibah, bahkan mampu mensyukurinya. Dan puncaknya bibir kita pun bersama-sama berkata, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia.”
KOMENTAR ANDA