SEBAGAI makhluk yang doyan berolah pikir, sejatinya manusia memang butuh pro kontra. Dengan begitulah nalar kita itu bekerja dengan dinamis, dan dengan perdebatan atau silang pendapat itu pula manusia sama-sama berupaya mengeluarkan yang terbaik dari anugerah akal budinya.
Di tengah hangat-hangatnya berita naik fantastisnya kasus Omicron, maka menjadi suatu kejutan pula ketika mendadak perpindahan ibu kota negara baru malah berujung pro kontra sengit. Kok baru sekarang ya? Kemana saja dari kemarin-kemarin?
Bagi pihak yang kontra, melonjaknya pandemi justru dijadikan alasan kuat penolakan. Harusnya pemerintah fokus dulu dengan penyelamatan rakyat yang terdampak ekonomi dari kembali mengganasnya Covid-19. Terlebih biaya luar biasa besar dari pembangunan ibu kota baru itu seperti mengiris-iris rasa keadilan bagi rakyat jelata.
Dan makin menarik jadinya, tatkala petisi penolakan itu ditandatangani tokoh-tokoh penting, yang di antaranya deretan profesor atau pakar yang diakui dan dikagumi pemikirannya. Tidak tiba-tiba saja kan mereka yang berpikiran brilian ini mengeluarkan petisi nan mengharu-biru, tentu melalui pertimbangan yang pakai nalar terbaik.
Sebetulnya, tidak bisa juga menyebut pemindahan ibu kota baru itu sebagai proyek yang tergesa-gesa. Karena semenjak presiden pertama di republik ini berkuasa, pemindahan ibukota telah menjadi rencana. Silih berganti presiden berkuasa di Indonesia tercinta, ibukota baru masih menjadi mimpi. Barulah kali ini hadir presiden yang hendak menjadikan mimpi indah itu realita di depan mata.
Bahkan sejak Indonesia baru saja merdeka, apalagi sekarang, rakyat Indonesia memahami Jakarta sudah terlalu renta memikul amanah sebagai ibu kota negara. Andai pun dipindahkan masih di wilayah Jawa, pun pulau ini teramat berat memikul beban tersebut.
Selain mempertimbangkan perluasan pembangunan yang merata ke seluruh penjuru Indonesia, terpilihnya Kalimantan sebagai ibu kota baru juga dengan alasan yang berangkat dari kajian mendalam.
Sebagaimana dikutip dari laman resmi Kementrian Komunikasi dan Informatika pada https://www.kominfo.go.id, menurut Presiden, selama ini, denyut kegiatan ekonomi secara umum masih terpusat di Jakarta dan Pulau Jawa. Sehingga Pulau Jawa menjadi sangat padat dan menciptakan ketimpangan dengan pulau-pulau luar Jawa. Apabila kita membiarkan hal tersebut berlanjut tanpa ada upaya yang serius, maka ketimpangan akan semakin parah.
Jika pindah ibu kota ini kita suntikkan semangat hijrah, menuju kebaikan yang lebih tinggi, tentu akan ada makna yang lebih luhur, yang membuat kita makin bersatu-padu dalam memajukannya. Memang tidak ada jaminan proyek ini pasti berhasil, terkecuali segalanya membutuhkan kekompakan seluruh elemen bangsa untuk berani melangkah ke depan.
Ada lho hijrah yang lebih dahsyat, yaitu ketika Hajar dan bayinya Ismail ditinggalkan oleh suaminya di gurun kering kerontang Arabia.
Kisah haru-biru ini diceritakan oleh Bey Arifin dalam buku Rangkaian Cerita Dalam Al-Qur’an (1971: 83-84):
Hajar memegang tali kekang unta yang dikendarai Nabi Ibrahim dan berkata, “Kemanakah engkau pergi? Kenapa kami ditinggalkan di sini?”
Siapa yang akan mempertahankan hidupnya dari bahaya kelaparan dan dahaga, serta dari serangan binatang-binatang buas, dari terik panas matahari, dari udara dingin yang berembus di malam hari.
Secara nurani Nabi Ibrahim tak kuasa meninggalkan orang-orang tercinta di sana. Namun, yang perlu ditaatinya hanyalah Allah semata, perintah Tuhan tidaklah dibantahnya. Nabi Ibrahim tak kuasa lagi berkata-kata.
Dengan baik, Bey Arifin mencantumkan tanggapan Hajar yang teramat menggugah, Hajar berkata, “Sekarang saya mengerti, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan kami.”
Dan kini kita tahu, negeri gersang yang dirintis Hajar dan Ismail itu menjadi kota pusat peradaban dunia, Mekah namanya. Meski tidak akan mampu menyaingi Mekah, kita masih bisa berjuang ibu kota baru menjadi mercusuar bagi peradaban bangsa ini dan syukur-syukur bisa juga menyinari kecemerlangan dunia.
Dari kisah Hajar dan Ismail serta Nabi Ibrahim kita paham, memang butuh pengorbanan untuk membangun peradaban baru. Tidak ada jalan yang mulus, semuanya butuh kerja keras.
Perpindahan ibu kota baru bukanlah perintah Allah, melainkan bagian dari ikhtiar manusia. Bisa benar dan bisa juga salah! Namun, manusia mesti move on, terus bergerak maju. Istilah religiusnya, kita perlu hijrah, pindah demi cita yang lebih mulia.
Lalu bagaimana suara-suara yang kontra, bahkan sudah bikin petisi segala?
Justru suara-suara itu sangat diperlukan. Itu semua bukanlah suara sumbang, melainkan suara kepedulian. Mengapa suara kontra diperlukan?
Kalau semua pihak setuju saja, amat mungkin yang terjadi itu kita malah terlena sehingga pembangunan berlangsung tidak seimbang, karena tidak ada lagi pihak yang memberi kritik. Ingat, Tuhan menciptakan kita bukan untuk menyeragamkan pendapat. Sama sekali tidak begitu!
Suku Minang termasuk kelompok masyarakat yang gemar berdiskusi, menghargai perbedaan pendapat bahkan menyukai pro kontra. Kok bisa? Ya, karena adat mereka sendiri yang membimbing demikian.
Pepatah yang jadi pegangan suku Minang; basilang kayu dalam tungku di sinan api mangko hiduik; bersilang kayu di tungku, di situ api makanya hidup. Maksudnya, kata mufakat itu tidak akan didapat kecuali melalui perbedaan pendapat. Tidak boleh mufakat itu diputuskan dengan cara memaksakan kehendak, melainkan harus dengan mendengar pendapat-pendapat yang kontra juga.
Bahkan dalam musyawarah suku Minang, hak orang berbicara dan berbeda pendapat itu amat dihargai. Tidak akan disela pembicaraan sekalipun itu dia menyampaikan penolakan. Bahkan jika orang itu sudah selesai bicara, sebelum memberikan tanggapan, kita diharuskan dulu bertanya, “Alah sampai tuh?” Maksudnya, apakah pembicaraanmu telah selesai? Ini membuktikan perlindungan bagi hak berpendapat dan berbeda pemikiran.
KOMENTAR ANDA