Lho, kok suku Minang ikut disebut-sebut?
Jadi jangan heran kalau di antara petisi menolak ibukota baru itu ada cendikiawan yang berdarah Minang, karena dalam adat budayanya perbedaan pendapat itu haruslah dihormati dan dijaga. Begitu!
Dahulu kala belum ada kompor listrik atau gas. Kalau emak-emak mau masak, mereka menyusun beberapa kayu dulu di tungku. Kayu bakar itu tidak disusun rapi, mengapa? Karena oksigen tidak akan masuk dan api tidak dapat menyala, sehingga tidak bisa masak toh!
Nah, kayu-kayu bakar disusun bersilang-silang, oksigen pun masuk, sehingga di sanalah api harapan itu dapat menyala.
Dari filosofi alam itulah, muncul pepatah di atas. Sehingga kita pun hendaknya menghargai perbedaan pendapat, dan memandangnya sebagai sesuatu yang positif. Sebab dengan berbeda pendapat, membuka medan pro kontra, dan adu argumentasi itu, barulah terbit api ide yang akan menerangi langkah ke depan.
Bisa saja bagi Tuhan menyeragamkan pemikiran seluruh manusia, agar tidak ada lagi pro kontra. Namun, Tuhan tidak menciptakan keseragaman pemikiran, Dia buat kita berbeda agar medan nalar benar-benar berputar dengan dinamis. Semoga pro kontra ibu kota baru ini terus berada dalam koridor akal sehat.
KOMENTAR ANDA