Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

MEMPERINGATI Hari Pers Nasional (HPN) yang jatuh pada 9 Februari, mari kita melihat bagaimana perjalanan para insan pers Tanah Air dari masa ke masa.

Penetapan HPN dikukuhkan oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 5 Tahun 1985, yang menyatakan bahwa pers Indonesia mempunyai sejarah perjuangan serta peranan penting dalam melaksanakan pembangunan pengamalan Pancasila.

Penetapan HPN mengakomodasi inisiatif para wartawan untuk memiliki hari bersejarah bagi insan pers nasional.

Seperti apa sejarah perkumpulan wartawan Indonesia?

Pra-Kemerdekaan

Para wartawan tidak mau ketinggalan dengan para aktivis politik untuk membentuk perkumpulan yang menjadi wadah persatuan insan pers sekaligus advokasi pers nasional.

Organisasi wartawan Indonesia yang pertama kali didirikan adalah Inlandsche Joernalisten Bond (IJB) pada tahun 1924. Perintis IJB adalah Sumarko Kartodikromo. Diketahui, tokoh nasional Tjipto Mangunkusumo juga pernah memimpin IJB.

Pada tahun 1931 berdirilah Persatoean Kaoem Journalis yang diketuai Saerun.

Kemudian pada Desember 1933, para wartawan berkumpul untuk membentuk Persatoean Journalis Indonesia (PERDI). Di antara tokohnya adalah Sutopo Wonobojo, M. Tabrani, Parada Harahap, Sutomo, hingga W. R. Supratman, Mohammad Yamin, A. M. Sipahutar, dan Adam Malik. Dua nama terakhir ini juga tercatat sebagai pendiri kantor berita Antara pada tahun 1937.

Pada masa pendudukan Jepang, berbagai surat kabar pergerakan ‘dimatikan’ atau diganti namanya dan diawasi ketat. Namun meski banyak pembreidelan surat kabar, banyak pula surat kabar baru yang diterbitkan oleh para tokoh di berbagai pelosok Tanah Air juga siaran-siaran yang dianggap ilegal. Jepang tak segan menangkap dan membunuh para wartawan yang dicurigai atau dituduh melakukan gerakan bawah tanah.

Proklamasi, PWI, dan Partai Politik

Setelah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, wartawan semakin giat mendukung kemerdekaan Indonesia. Di Jakarta, Medan, Bandung, Padang, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, juga Makassar, para tokoh wartawan menerbitkan surat kabar yang mengobarkan semangat untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia. Datangnya Inggris bersama Belanda ke Indonesia menjadi cobaan berat bagi insan pers nasional.

Pasukan Inggris tidak segan memakai tindakan kekerasan menyikapi tulisan wartawan yang meneriakkan kepentingan bangsa. Kantor surat kabar ditutup dan dirusak, percetakan diledakkan, para wartawan disekap.

9 Februari 1946, di tengah kondisi mencekam, para wartawan melakukan kongres pertama dan membentuk Persatuan Wartawan Indonesia.

Mengutip pwi.or.id, di tengah kancah perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman kembalinya penjajahan, kelahiran PWI menjadi simbol persatuan dan semangat patriotik wartawan Tanah Air dalam membela kedaulatan Indonesia. PWI juga menjadi ujung tombak perjuangan nasional untuk menentang kolonialisme dan menggagalkan negara-negara boneka yang ingin meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kemudian mulai tahun 1950, surat-surat kabar menentukan pilihan masing-masing dalam menyikapi hasil Konferensi Meja Bundar. Keadaan politik yang liberal juga berimbas pada pola pemberitaan, tajuk rencana, dan isi penerbitan pers. Pada saat itu, pers nasional juga tertinggal dari koran-koran Belanda dan Cina. Menurut data tahun 1954, jumlah surat kabar harian di seluruh Indonesia mencapai 105 surat kabar.

Pada tahun 1965, surat kabar diwajibkan berafiliasi dengan partai politik atau organisasi massa. Namun pascapenumpasan G30S/PKI, surat kabar milik PKI dan sekutunya ramai-ramai diberangus.

Permusuhan di Era Orde Baru

Setelah Soeharto menjadi presiden pada Maret 1967, pers nasional mulai berbenah diri, termasuk menerima investor asing. Meski mencanangkan pers berkelanjutan, nyatanya pemerintah tak segan membatasi hingga memberangus pers yang berseberangan.

Konflik pers-pemerintah di masa pemerintahan Soeharto berkisar pada tuduhan korupsi yang dilakukan segelintir penguasa. Pemberitaan tentang aksi unjuk rasa mahasiswa juga langsung mendapat tindakan represi pemerintah.

Kondisi itu berlangsung sepanjang tahun 1980-an hingga dasawarsa berikutnya. Termasuk mewajibkan media televisi swasta seperti RCTI, SCTV, Anteve, TPI, dan Indosiar me-relay siaran berita TVRI. Radio swasta juga wajib me-relay berita dari RRI.

Pada Juni 1994, citra otoriter pemerintahan Soeharto makin terlihat setelah membreidel tiga penerbitan pers yaitu Tempo, Detik, dan Editor. Pada bulan Agustus, sejumlah wartawan ex. Tempo dan simpatisan mereka mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

Naiknya Presiden Habibie pada tahun 1998 menggantikan Soeharto tidak serta merta membawa angin segar bagi dunia pers Tanah Air. Di awal era reformasi, kubu politik Orde baru masih memegang kendali. Sepanjang tahun, tekanan dan bahaya masih mengancam pekerja pers, baik berupa ancaman fisik maupun hambatan politik.

Sering sekali wartawan dilaporkan para pejabat negara ke kepolisian. Sebut saja wartawan D&R, Merdeka, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Antara, Surya, Aksi, Pikiran Rakyat, Republik, Sinar, Media Indonesia, Kompas, juga Gatra. Kantor pers di berbagai daerah dipenuhi pengunjuk rasa bahkan ada yang dibakar. Teror hingga pembunuhan menjadi mara bahaya yang harus dihadapi pekerja pers nasional.




Dukung Presiden Prabowo Bawa Ahli Medis India ke Indonesia, Andi Arief: Kasihan Rakyat Kecil Tidak Punya Jalan Keluar untuk Transplantasi Organ

Sebelumnya

Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel News