KOMENTAR

LUAR biasa dahsyatnya cinta, mereka yang terjatuh kepadanya akan memiliki daya juang nan spartan.

Tak terkecuali seorang pria nonmuslim yang cintanya pada seorang muslimah sudah tak terhingga.

Namun, niat tulus bersanding ke pelaminan terhadang perbedaan agama. Bukan hanya agama yang melarang pernikahan macam itu, bahkan undang-undang Indonesia pun mengamini peraturan agama.

Tak mau menyerah, pria ini pun menempuh jalur hukum dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah memangkas hak dirinya, yang membuat harapannya menikahi muslimah kandas.

Baiklah! Mari kita pahami dulu undang-undang tersebut.

Dalam buku Hukum Pencatatan Sipil (2019: 180) disebutkan, keabsahan suatu perkawinan ditentukan dalam Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pria nonmuslim tersebut meyakini dalam pasal-pasal itu tidak ditegaskan secara terang-benderang larangan menikah beda agama, (ini menurut dirinya ya!). Dan yang dirasakannya, seolah pasal itu ada “paksaan” untuk tunduk kepada aturan agama. Dengan demikian, bulatlah niatnya untuk menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) demi terus memperjuangkan impian bersanding dengan muslimah.

Ternyata eh ternyata, upaya senada jauh-jauh hari pernah lho dijajaki. Hal ini diungkapkan dengan cukup terperinci dalam buku Hukum Pencatatan Sipil (2019: 181), begini kejadiannya:

Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 ini dianggap inkonstitusional, karenanya diajukan judicial review atas pasal a quo tersebut kepada Mahkamah Konstitusi melalui perkara Nomor 68/PUU- XII/2014.

Menurut para pemohonnya, hak untuk membentuk keluarga melalui perkawinan yang sah telah dijamin dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 sehingga dengan adanya Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 para pemohon merasa ada pembatasan terhadap hak warga negara dalam melangsungkan perkawinan tersebut.

Terhadap permohonan dalam perkara a quo ini, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya, karena dalil yang dikemukakan tidak beralasan menurut hukum. Mahkamah Konsititusi berpendapat bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (vide Pasal 28J UUD 1945).

Artinya, gugatan pemohon terdahulu itu telah kandas.

Nah, paparan terkait putusan MK di masa lalu di atas tidak sama sekali bermaksud melarang pria tersebut menggugat. Lho, kan gugatan ke MK juga bagian dari hak konstitusional dirinya.

Namun, ingatlah Indonesia bukan negara liberal, negeri ini memiliki Pancasila yang mana agama dijunjung tinggi. Tampaknya, gugatan pria tersebut akan kembali menemui jalan terjal, tapi untuk suatu perjuangan ya bolehlah dicoba.

Gugatlah dengan elegan, tetapi ada suatu dimensi lagi yang perlu kita pertimbangan tentang cinta.

Kita tidak dapat mengecam orang yang jatuh cinta, siapa sih yang dapat menolak terjatuh macam begini kan? Tetapi, tidak semua cinta harus berakhir ke pelaminan. Betapa banyak orang yang jelas-jelas seagama telah jatuh cinta, yang akhirnya mereka tidak bersanding di pelaminan toh!

Cinta adalah cinta.

Cinta butuh pengorbanan, dan ketika pria itu menolak berkorban beralih menjadi muslim, itu pun kita hargai. Tidak ada paksaan dalam agama, tetapi tidak ada yang dapat menganulir hukum Islam; seorang muslimah hanya boleh menikah dengan pria muslim.

Aturan tegas ini tegak di atas perlindungan konstitusi pula, negara tidak punya hak mengganti syariat suatu agama. Bahkan undang-undang menitahkan perkawinan yang sah hanya yang mengikuti aturan agama.

Kisah cintanya akan tetap dihormati, perasaannya nan suci kepada muslimah akan senantiasa dihargai. Sebagaimana kita menghargai cintanya, maka dengan cintanya itu pula pria tersebut hendaknya menghormati agama Islam yang cinta damai ini.

Dan keluhuran cintanya itu akan terlihat dari kerelaan yang terbaik untuk orang yang dicintai.

Biarkanlah muslimah itu hidup dalam cinta Tuhannya, setia dengan agamanya. Sikap itulah yang membuat cinta lelaki tersebut akan menyejarah. Karena dia tidak egois memaksakan sesuatu yang akan berdampak teramat berat bagi perempuan tersebut.

Tidak ada maksud sama sekali tulisan ini melarang Anda jatuh cinta. Tuhan yang menciptakan cinta agar kita belajar menata hati di level terhormat. Karena, cinta itu juga bentuk ujian dari Tuhan, apakah kita setia pada cinta atau setia pada sang pencipta cinta.

Karena ini berhubungan dengan perjuangan cinta, ada baiknya kita resapi petuah dari sang maestro cinta, siapa lagi kalau bukan Kahlil Gibran, dalam bukunya Sang Nabi (2016: 12):




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur