Desember lalu, Ukraina mengeluarkan dektrit yang mewajibkan perempuan berusia 18-60 tahun yang berada dalam kondisi sehat dan bekerja di berbagai bidang, untuk mendaftar dinas militer/ Foto: AP, WSJ
Desember lalu, Ukraina mengeluarkan dektrit yang mewajibkan perempuan berusia 18-60 tahun yang berada dalam kondisi sehat dan bekerja di berbagai bidang, untuk mendaftar dinas militer/ Foto: AP, WSJ
KOMENTAR

Prajurit perempuan lainnya juga diklasifikasikan sebagai petugas kebersihan atau juru masak. Hal itu dikarenakan militer Ukraina tidak punya peraturan yang mengizinkan perempuan berada di garis depan.

Pada tahun 2017, barulah tentara Ukraina mengizinkan perempuan untuk mendaftar di 67 posisi tempur. Pengakuan itu merupakan buah perjuangan para veteran perempuan.

Sebelumnya, tentara perempuan disebut sebagai "batalyon tak terlihat" yang memainkan peran penting di garis depan namun diabaikan eksistensinya oleh para elit militer.

Namun sayangnya, para tentara perempuan ini harus menghadapi diskriminasi. Padahal mereka bertekad untuk membela negara sama seperti yang dilakukan para laki-laki Ukraina.

"Kami menghadapi diskriminasi. Ketika seorang perempuan pergi berperang sementara anaknya bersekolah, banyak orang bodoh memberitahu anak tersebut bahwa sang ibu telah menelantarkannya, tetangga menyebutnya ibu yang gagal, dan suaminya akan ditertawakan," kata Kateryna Pryimak, yang menjadi petugas medis garda depan tahun 2014.

Kisah Andriana tak kalah memilukan. Ia yang biasa menyamar dalam pertempuran, berada di dalam parit saat mengetahui tengah hamil anak pertama di tahun 2015. Ia menangis tapi terus melaksanakan tugasnya. Lima bulan kemudian barulah ia meninggalkan garis depan.

Pun saat membawa granat, Andriana membungkusnya dengan lakban dan memasukkannya ke bagian dada karena ia tak ingin menggunakannya. Kisah pilu itu membawanya kepada depresi pascamelahirkan.

Namun demikian, banyak pula prajurit laki-laki yang meninggal di medan perang, menjadi penganggur dan depresi, bahkan seorang teman Andriana bunuh diri dari lantai 16 apartemen setelah lama bergulat dengan PTSD (post-traumatic stress disorder).

Atas jasanya, Andriana telah menerima banyak gelar kehormatan dari negara dan memorabilia perangnya kini dipajang di sebuah museum militer di ibu kota Kiev.

Tak berhenti sampai di situ, diskriminasi juga muncul dari internal militer. Banyak anggota konservatif elit militer yang menolak keberadaan tentara perempuan.

Hanya sedikit komandan yang pernah mendapat pelatihan gender dan sebaliknya, lebih banyak orang yang takluk pada stereotip bahwa perempuan tak punya tempat di militer.

Inilah yang masih menyisakan kesulitan bagi perempuan untuk membangun karier militer. Padahal pada kenyataannya, bahaya yang dihadapi para tentara perempuan tak berbeda dengan yang dihadapi rekan laki-laki mereka.




Gunung Lewotobi Kembali Meletus Disertai Gemuruh, Warga Diimbau Tetap Tenang dan Waspada

Sebelumnya

Timnas Indonesia Raih Kemenangan 2-0 atas Arab Saudi

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel News