RASULULLAH pernah mengadakan musyawarah dengan para sahabatnya untuk membicarakan cara mengajak orang untuk shalat dan untuk mengingatkan orang yang lupa. Sebagian mereka menyarankan agar menaikkan bendera, agar semua orang melihatnya. Tetapi, ini ditolak oleh mayoritas peserta musyawarah, karena cara ini hanya bisa diketahui oleh orang yang melek.
Sebagian lain menyarankan untuk menyalakan api di tempat yang tinggi. Usulan ini juga tidak diterima, karena alasan yang sama, bahkan bisa menyerupai orang Majusi.
Ada pendapat lain agar hal tersebut dilalukan dengan meniup terompet. Nabi Muhammad mengatakan bahwa itu merupakan cara orang Yahudi. Ini tentu saja ditolak juga. Ada juga yang menyarankan dengan lonceng/bel. Nabi Muhammad mengatakan ini sebagai cara orang Nasrani, dan itu tidak dapat diterima.
Terakhir ada yang mengusulkan azan. Usulan ini akhirnya diterima oleh Rasulullah. Salah seorang yang menyampaikan kalimat-kalimat azan adalah Abdullah bin Zaid bin Abdu Rabbih al-Anshari.
Orang ini bermimpi bertemu dengan seseorang. Laki-laki ini mengatakan, “Maukah engkau aku ajarkan kalimat-kalimat yang dapat engkau ucapkan untuk mengajak orang shalat?”
Abdullah bin Zaid menjawab, “Ya.”
Orang itu lalu mengajarkan kalimat-kalimat azan.
Apabila Abdullah bin Zaid bangun, ia segera menemui Rasulullah untuk menceritakan mimpinya. Beliau menjawab, “Itu adalah mimpi yang benar. Tolong ajarkan kalimat-kalimat dalam mimpimu itu kepada Bilal.”
Ketika Bilal azan, Umar bin Khattab menemui Nabi Muhammad saw., dan menyampaikan mimpinya yang sama. (dikutip dari Abdullah Musthafa al-Maraghi, Ensiklopedia Ulama Ushul Fiqh Sepanjang Masa [2020: 65-66])
Dari sejarahnya itu dapat kita pahami betapa faktor syiar Islam memainkan peran penting dari lahirnya seruan azan. Ketika kemudian hari lahir teknologi pengeras suara atau peralatan megafon, maka boleh-boleh saja alat itu digunakan untuk memperjelas seruan azan, yang makin menggemakan syiar Islam.
Megafon menjadi alat yang berperan sebagai corong yang mengeraskan dan mengatur arah suara tersebut. Toh azan tidaklah lama, hanya beberapa menit saja!
Akan tetapi yang memancar dari pengeras suara atau megafon masjid bukan azan semata, masih ada lagi bacaan Al-Qur’an, pengajian, tadarusan, wirid, hadrah, musik Islami dan lain sebagainya.
Insyallah semua suara yang memancar dari megafon masjid atau musala adalah berasal dari kegiatan-kegiatan yang baik, bahkan yang berlimpah pahala. Jangan lupakan betapa berjasanya megafon masjid dalam menyampaikan berita-berita penting, di antaranya kabar tentang bencana.
Tetapi, haruskah semua kegiatannya itu dengan menggunakan pengeras suara luar masjid? Apakah masih kurang semarak jika mengandalkan pengeras suara dalam ruangan? Bisakah pengeras suara luar masjid dimaksimalkan untuk seruan azan dan kegiatan atau pengumuman yang amat penting saja?
Dan pada kenyataannya megafon itu juga telah lama menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Ibarat puncak gunung es, masalah-masalah yang tidak terungkap ke permukaan rupanya jauh lebih banyak. Berikut ini di antara contohnya:
Dalam perayaan hari besar Islam, penampilah hadrah dengan suara gendang bertalu-talu juga disyiarkan oleh megafon masjid atau musala. Dari pagi hingga malam hari lagu-lagu religi bersama suara hinggar bingar alat-alat musiknya terus unjuk kekuatan.
Malangnya, berdekatan dari sana ada sebuah keluarga yang lagi isolasi mandiri. Mereka memang susah tidur akibat serangan Omicron. Dan keluarga yang lagi butuh istirahat itu makin tidak dapat tidur akibat dentuman suara hadrah yang menggema dari megafon rumah ibadah. Mau protes keluarga itu tidak bernyali, salah-salah malah mereka yang kena amukan warga.
Seorang nenek tua sering resah gelisah tiap kali Ramadan menjelang. Pasalnya, semalam suntuk megafon masjid akan menyiarkan kegiatan tadarusan. Itu artinya sebulan penuh nenek yang sudah sakit-sakitan itu nyaris tidak tidur malam. Maklum, salah satu megafon masjid itu corongnya mengarah ke rumah si nenek.
Pernah juga perempuan tua itu memohon agar tadarusan tidak memakai pengeras suara luar, cukup yang di dalam masjid saja. Tetapi orang-orang malah menegur dirinya yang sudah bau kubur kok alergi dengan bacaan Al-Qur’an. Nenek itu pun pucat mukanya.
Kembali kita kepada sejarah azan, apakah dengan kisah-kisah dampak dari pengeras suara itu tujuan dari syiar agama tercapai? Jangan-jangan aksi kurang terkendali dari megafon itu telah membuat kurang nyamannya kehidupan masyarakat luas.
Islam tidak mengajarkan umatnya untuk menjadi pribadi egois. Apalagi yang kita jaga adalah citra mulia Islam sebagai agama keselamatan. Maka segala macam kegiatan yang bernuansa ibadah itu diperbolehkan, dan penggunaan pengeras suara memang perlu diatur agar tidak menimbulkan keresahan, atau tidak menimbulkan polemik yang merugikan.
Apabila dibaca dengan cermat Surat Edaran Mentri Agama Republik Indonesia Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang penggunaan pengeras suara di masjid dan musala terlihat kandungannya baik-baik saja. Tidak ada tuh larangan apalagi kebencian terhadap azan, bacaan Al-Qur’an, wirid, tadarus dan lain sebagainya.
Surat Edaran itu hanya menata penggunaan pengeras suara masjid, karena pemakaian megafon itu sudah menyentuh ranah publik. Para ulama dan pengurus masjid pun menyambut baik aturan tersebut, bahkan sejumlah masjid sudah lebih dulu mengatur pengeras suara mereka, terkhusus megafon yang corongnya mengarah ke luar rumah ibadah.
Surat Edaran itu di antaranya mengatur pengeras suara luar masjid volumenya ditata maksimal 100 desibel. Ini tidaklah menghalangi atau merugikan bagi seruan azan. Tidak sama sekali!
KOMENTAR ANDA