Ilustrasi pengeras suara/ Net
Ilustrasi pengeras suara/ Net
KOMENTAR

Sekadar perbandingan ya, suara petir yang mengagetkan itu berkisar 120 desibel. Maka, aturan maksimal 100 desibel untuk suara azan itu sudah keras lho!

Jadi, sebelum masuk ke ranah perdebatan, ada baiknya kita sama-sama cermati dulu Surat Edaran Mentri Agama Republik Indonesia Nomor SE. 05 Tahun 2022 itu. Terlebih lagi para pengurus masjid di berbagai daerah sudah lebih dulu mengatur megafon rumah ibadah.

Buktinya, tidak semua masjid gemar menggunakan pengeras suara luar untuk kegiatan-kegiatannya. Pada daerah-daerah tertentu pengeras suara luar masjid hanya untuk azan dan shalat fardu semata atau pengumuman yang amat penting saja.

Apakah tidak ada kegiatan di masjid-masjidnya? Ternyata banyak kegiatan bermanfaat yang rutin digelar, tetapi mereka hanya mengandalkan pengeras suara dalam.

Lho kok begitu sih?

Seorang ulama yang juga dosen agama setempat menerangkan sebab musababnya. Misalnya, masjid mereka sengaja tidak memutar bacaan Al-Qur’an lalu memancarkannya di megafon luar masjid.

Mengapa? Karena mereka berpegang surat Al-A’raf ayat 204, yang artinya, “Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.”

Dengan demikian, apabila disyiarkan melalui megafon luar masjid, maka siapapun yang mendengar bacaan Al-Qur’an mestilah diam dan menyimak dengan khidmat.

Nah, bagaimana dengan masjid-masjid yang berada di tengah pasar, di mana orang-orang berlalu-lalang, juga sibuk bertransaksi niaga. Bagaimana cara mereka melaksanakan perintah ayat itu untuk diam menyimak bacaan Al-Qur’an yang disyiarkan oleh megafon masjid?

Ada benarnya juga ya!

Kita boleh setuju dan boleh pula beda pendapat. Namun, yang menarik adalah kebijakan daerah-daerah tertentu sudah punya cara tersendiri dalam mengendalikan pengeras suara rumah ibadah.

Oleh sebab itu, ada baiknya jika pengaturan pengeras suara masjid untuk luar hendaknya melibatkan masyarakat sekitar. Karena merekalah yang menjadi konsumen dari suara-suara tersebut. Apalagi tingkat toleransi masyarakat terhadap suara-suara megafon itu berbeda-beda.

Di suatu daerah yang beriklim dingin, masyarakatnya senang megafon masjid memutarkan bacaan Al-Qur’an sebelum azan Subuh. Karena mereka jadi punya waktu yang cukup untuk mengumpulkan kekuatan bangkit dari kasur. Karena di daerah dingin itu luar biasa beratnya mata menghadapi kantuk.

Tetapi, di daerah lain masyarakatnya merasa cukup dengan seruan azan Subuh saja tanpa bacaan Al-Qur’an atau yang selainnya sebagai pendahulu dari azan.  

Beda-beda ya kebutuhan orang! Di sinilah pentingnya melibatkan kearifan lokal dalam menata penggunaan pengeras suara rumah ibadah.

Akhirnya kita sadari pula ada sejumlah ibadah yang butuh syiar, tetapi jangan sampai menghadirkan mafsadah atau 'keributan' bagi kehidupan bersama. Kearifan lokal yang berkaitan dengan masyarakat setempat memang perlu diperhatikan agar aturan-aturan itu mengena di hati dan memberikan manfaat yang berkah.




Menyelamatkan Hati dari Rasa Sakit

Sebelumnya

Bangsa Bermental Merdeka

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur