Ilustrasi pasien Covid-19 dalam perawatan nakes/ Net
Ilustrasi pasien Covid-19 dalam perawatan nakes/ Net
KOMENTAR

SEJUMLAH orang mengaku terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak tiga kali.

Ada para dokter yang bertugas di garda depan penanganan COVID-19 mengalami lebih dari satu kali positif COVID. Atau Maia Estianty, yang aktivitasnya di dunia hiburan tetap berjalan meski dengan protokol kesehatan ketat, mengaku sudah tiga kali terpapar COVID.

Pengalaman Hermawan, seorang karyawan BUMN yang setahun terakhir bertugas di sebuah kota di Sulawesi Utara juga tak kalah membuat heran. Ia sudah tiga kali dinyatakan positif dari varian Alfa, Delta, hingga Omicron. Padahal di kota tempat ia tinggal, angka COVID-19 terbilang rendah. Kondisi alam dan udara pun lebih segar.

Mengapa seseorang bisa terkena COVID-19 hingga tiga kali?

Selama ini, masyarakat beranggapan bahwa reinfeksi hanya bisa terjadi satu kali. Namun menurut Sekretaris Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dr. Erlang Samoedro, Sp.P(K), seperti dilaporkan CNN Indonesia, reinfeksi COVID-19 bisa terjadi berulang kali, tidak hanya dua kali bahkan hingga tiga kali, seperti dilaporkan.

Penyebab seseorang bisa terpapar berulang kali adalah karena beberapa virus bermutasi. Akibatnya, sistem tubuh tidak mengenali varian baru yang masuk.

Artinya, meskipun antibodi tubuh telah terbentuk setelah orang tersebut terdiagnosis positif COVID-19, hasil mutasi virus berupa varian baru yang masuk ke tubuh tidak dapat dikenali. Karena itulah risiko reinfeksi tetap ada.

Namun demikian, reinfeksi dapat terjadi berulang kali walaupun gejala yang dirasakan orang tersebut terbilang ringan. Namun bila pada infeksi pertama orang tersebut dirawat di rumah sakit, maka saat reinfeksi, dia harus dipantau dengan seksama.

Risiko tinggi reinfeksi yaitu pada lansia, penyintas dengan komorbid, orang yang belum divaksinasi, dan tergantung pada kondisi daya tahan tubuh.

Mengingat kemungkinan mutasi virus yang dapat terus terjadi sementara antibodi tubuh dapat menurun, maka setiap orang harus tetap mematuhi protokol kesehatan dan divaksinasi.

Untuk menjadi acuan, kita bisa melihat data dari Washington State Department of Health tentang kasus reinfeksi COVID-19 yang terjadi pada 1 September hingga 26 Desember 2021.

Data menunjukkan ada 4404 kasus reinfeksi dari 264.520 kasus positif COVID-19. Sebanyak 223 orang (5,1 persen) pasien reinfeksi dirawat di rumah sakit dan 9 orang (0,1 persen) pasien reinfeksi meninggal dunia. Sebanyak 2640 pasien reinfeksi (59,9 persen) tidak divaksinasi.

Washington State Department of Health mencatat tiga faktor risiko terjadinya reinfeksi COVID-19 sebagai berikut.

-Penyintas COVID-19 yang belum divaksinasi memiliki risiko tinggi terinfeksi kembali.

-Risiko tertular dari orang lain termasuk berdekatan dengan kontak erat yang positif COVID-19 dapat meningkatkan risiko terinfeksi kembali.

-Kondisi pasien dengan komorbid dan daya tahan tubuh lemah berisiko terhadap reinfeksi.

Ketiga risiko di atas adalah hal dinamis yang bisa berubah saat kekebalan tubuh menurun atau saat munculnya varian baru hasil mutasi.

Varian Omicron yang kini menjadi dominan di dunia disinyalir berperan dalam tingginya angka reinfeksi COVID-19.

Berapa lama setelah sembuh dari COVID-19 kemudian bisa terinfeksi kembali?

Penelitian menunjukkan kekebalan penyintas dapat bertahan tiga bulan hingga beberapa tahun. Namun reinfeksi bisa terjadi lebih cepat.

Dr. William Schaffner dari Vanderbilt University Medical Centre mengatakan bahwa dua virus (Alfa dan Delta) menyebabkan infeksi yang berbeda. Perlindungan terhadap virus corona akan berkurang secara alami setelah jangka waktu tertentu.

Dilansir inews.co.uk, studi Yale School of Public Health pada Oktober 2021 menunjukkan  bahwa penyintas yang tidak divaksinasi memiliki imunitas selama tiga hingga 61 bulan. Namun setelah munculnya Omicron, yang merupakan varian baru hasil mutasi, kondisinya ideal tersebut menjadi jauh berkurang.

Jika terkena COVID-19 tiga kali, apakah harus tetap divaksinasi?

Dikutip dari Alodokter, vaksin COVID-19 diberikan bertujuan untuk membentuk antibodi terhadap virus penyebab COVID-19. Dengan divaksinasi, tubuh seseorang diharapkan sudah siap dengan antibodi saat terinfeksi COVID-19. Vaksin juga mengurangi risiko mortalitas akibat COVID-19.




Hindari Cedera, Perhatikan 5 Cara Berlari yang Benar

Sebelumnya

Benarkah Mengonsumsi Terlalu Banyak Seafood Bisa Berdampak Buruk bagi Kesehatan?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Health