TENTANG misteri hati, ah siapa sih yang benar-benar tahu? Meski itu hati sendiri pun kita sulit memahaminya. Hati itu teramat liar, timbul-tenggelam atau maju mundur tanpa diduga.
Di petang hari menjelang bubaran kantor, para lelaki dan perempuan yang lelah bekerja saling curhat tentang ganjalan di hati masing-masing, tentang lara yang lama terpendam.
Seorang ibu-ibu muda mengeluhkan suaminya, “Andai dia serius berbisnis, saya tidak perlu pergi pagi pulang sore.”
Kemudian meluncurlah kisah romantisnya dahulu kala bersama pebisnis muda yang tajir alang kepalang. Berbanding terbalik dengan suaminya yang kini hanya pekerja kantoran. Suaminya tidak punya bakat sama sekali di dunia bisnis, yang membuat ibu-ibu muda itu kecewa berat.
Perempuan tersebut lupa bahwa mantannya yang pebisnis muda nan cemerlang itu disokong kekayaan orangtuanya. Dan kini di balik gemerlap bisnisnya, sesungguhnya sang mantan lagi pening akibat dililit banyak hutang.
“Ah, andai dulu orangtuanya tidak melarang cinta kami,” kenang ibu-ibu muda itu sendu.
Lho, mengapa menikah dengan suaminya sekarang?
“Prinsip saya, kalau tidak dapat pria yang dicintai, ya menikah dengan lelaki yang mencintai.”
Nah, betapa beratnya pengorbanan cinta suaminya, sampai-sampai harus terbebani impian sang istri yang masih terobsesi dengan mantan yang lama. Hati mana yang tidak pedih dibanding-bandingkan. Berat tentunya!
Kemudian giliran seorang bapak-bapak pun angkat bicara, “Bagaimana dia tidak kuremehkan!”
Malangnya, si dia yang diremehkan oleh bapak itu adalah istrinya sendiri. Kok bisa?
Istrinya berpendidikan rendah, malahan tidak pernah berkuliah. Kualifikasinya hanyalah pernah menjadi buruh pabrik, yang setelah menikah fokus jadi ibu rumah tangga.
Bapak-bapak itu mengenang perempuan yang telah lama sekali jadi mantan. “Dia menggondol gelar bergengsi di lima universitas terkemuka di lima benua berbeda,” sanjungnya.
Bapak-bapak itu mengabaikan fakta di balik kesuksesan nan cemerlang perempuan tersebut meratapi keluarga yang berantakan; anaknya pecandu narkoba, suaminya malah berselingkuh. Perempuan pintar itu sering tersenyum, tetapi pahit.
Bapak-bapak itu tetap membela, “Ya, gara-gara cinta kami tak direstui ayahnya, begitulah hasil perjodohan.”
Lha, kenapa malah menikahi perempuan yang sah jadi istrinya sekarang?
Bapak-bapak itu mengenang, “Ya, saya kecewa. Jadinya saya menikah saja sama yang dijodohkan orangtua.”
Dua kisah ini cukuplah menggambarkan jutaan atau milyaran kisah serupa, tentang kasih tak sampai, tentang cinta tak berbalas, atau mungkin juga tentang lemahnya hati.
Tak terbayangkan bagaimana perasaan suami atau istri masing-masing andai tahu rahasia yang berkecamuk di lubuk terdalam hati pasangannya. Bagaimana bisa suami atau istri yang serumah, sekamar bahkan seranjang, tetapi di hatinya bertakhta lelaki atau perempuan lain, mantannya pula lagi.
Tak mudah juga mencarikan padanan kata yang agak soft demi menggambarkan dua kisah pembuka di atas:
a.Cinta nan kandas? Ah, jangan-jangan ini menyinggung perasaan para pemuja cinta.
b.Gagal menikah? Aduh, bisa-bisa bikin runyam hati karena tak mudah menemukan orang yang ikhlas gagal.
c.Pasangan yang tidak dicintai? Ini akan berpotensi memperkeruh suasana karena rasa sakitnya nan memerihkan.
Terlepas dari pilihan tentang rumusan terhadap kasus-kasus dalam kisah di atas, tapi dapatlah kita lihat mengenai hati yang mendua, terjerat kenangan lama atau mantan yang mekar di hati.
Namun, janganlah terhanyut dengan perasaan macam itu, sebab tidak ada tuh kewajiban cinta berujung ijab kabul di depan penghulu.
Cinta ya cinta!
KOMENTAR ANDA