Karena cinta dapat ditumbuhkan, maka bersama suami atau istri yang berakhlak baik, tentu tidak akan sulit menumbuhkan rasa cinta. Bukankah cinta itu anugerah yang baik?/ Net
Karena cinta dapat ditumbuhkan, maka bersama suami atau istri yang berakhlak baik, tentu tidak akan sulit menumbuhkan rasa cinta. Bukankah cinta itu anugerah yang baik?/ Net
KOMENTAR

Menikah ya menikah!

Kalau kejadiannya cinta Anda berujung pernikahan, maka bersyukurlah, Tuhan telah mewujudkan skenario yang sesuai harapan dua insan. Namun, bila cinta itu hanyalah menjadi kisah dan tidak berhasil di pelaminan, maka terimalah takdir itu dengan ikhlas, sebab Tuhan paling mengetahui yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya.

Jangan larut dalam kelemahan hati! Jangan pula memuja cinta apalagi sampai menuhankannya!

Adakah pernikahan yang berhasil meski sebelumnya tidak ada cinta?

Banyak! Karena cinta dapat ditumbuhkan. Bersama suami atau istri yang berakhlak baik, tentu tidak akan sulit menumbuhkan rasa cinta. Bukankah cinta itu anugerah yang baik?

Adakah cinta yang berujung pernikahan yang gagal?

Ya, banyak juga. Karena untuk pernikahan sakinah, modal cinta saja tidak cukup. Apalagi cinta yang dibangga-banggakan itu diliputi egoisme, narsisme dan sejenisnya.

Agar pembahasan ini menemukan titik terang, sudah tepat kiranya bila merujuk kepada sirah nabawiyah. Mengapa Nabi Muhammad yang begitu agung, justru Allah berikan suatu kisah cinta yang tidak berujung pernikahan, suatu kisah nan romantis tetapi tidak tragis meski tidak berujung ke pelaminan?

Siapa sangka, kisah yang tidak diharapkan oleh manusia kebanyakan itu malah ditimpakan Tuhan kepada Rasul-Nya. Kenapa ya Allah?

Tentu karena ada hikmahnya!

Ini tentu bukanlah perkara kebetulan, dan tidak mungkin pula kejadian yang tergolong sia-sia. Apapun yang terjadi dalam riwayat kehidupan Nabi Muhammad adalah suri tauladan bagi umat manusia. Tuhan berikan episode cinta macam ini demi menjadi tuntunan bagi siapapun yang kelak akan mengalaminya.

Syaikh Muhammad Sa'id Mursi dalam buku Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (2005: 473) menceritakan, nama aslinya adalah Fakhitah binti Abu Thalib. Ia berasal dari kabilah Quraisy dari keturunan Bani Hasyim. Ia merupakan anak perempuan paman Nabi.

Nabi mencoba untuk melamar. Ummu Hani tak menerima lamaran Nabi. Ia sangat mencintai Nabi sehingga khawatir kalau pernikahannya nanti malah akan merepotkan Nabi sendiri, sebab ia mempunyai anak yang sangat banyak.

Ahmad Khalil Jam'ah & Syaikh Muhammad bin Yusuf Ad-Dimasyqi dalam buku Istri-Istri Para Nabi (2001: 526) menerangkan Rasulullah melamar Ummu Hani kepada dirinya langsung. Ummu Hani berkata, “Demi Allah, pada masa jahiliyah, aku mencintaimu, bagaimana di masa Islam, sedang aku wanita beranak dan tidak suka kalau anak-anakku mengganggumu.”

Jarang yang tahu kalau Nabi Muhammad pun pernah gagal menikah, padahal sudah ada cinta yang mekar sejak lama. Lagi pula siapa pula yang akan menolak lelaki sedahsyat Nabi Muhammad?

Namun, atas kuasa Allah pula, Nabi Muhammad dan perempuan itu kandas ke pelaminan. Cinta saja tidak cukup, karena ada cinta di atas cinta.

Janda lho yang dilamar oleh Nabi Muhammad! Sejak kecil pula keduanya saling mengenal dengan baik. Ummu Hani bahkan mengakui sejak masa jahiliyah, artinya sejak muda belia, dia telah mencintai Nabi Muhammad. Tetapi ayah menikahkan dirinya dengan Hubairah. Kemudian lelaki itu tetap dalam kemusyrikan, maka demi mempertahankan imannya Ummu Hani pun memilih berpisah.

Mumpung dirinya janda, kok tidak langsung menerima lamaran Rasul? Katanya cinta dari muda? Sejak jahiliyah sudah cinta, apalagi ketika memeluk agama Isam tentu lebih cinta lagi dong.

Cinta adalah cinta. Tidak ada tuh wajibnya cinta berujung pelaminan.

Ummu Hani menyadari cintanya jika berujung pernikahan hanya akan memberatkan bagi Nabi yang sudah demikian banyak amanah yang menumpuk dipundaknya. Biarlah cinta itu abadi sebagai perasaan yang terhormat saja.

Begitulah cinta yang mengajarkan kedewasaan, cinta tak harus memiliki. Lagi pula, pernikahan bukan semata perkara cinta, melainkan sejatinya adalah tanggung jawab.

Kenangan demi kenangan yang terbersit bukanlah sesuatu yang menyeramkan. Tetapi, hati yang lemah hanya akan menghanyutkan kepada kebinasaan.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur