Namun apapun yang terjadi, yang terpenting bagaimana diri kita masing-masing mengupayakan kehidupan ini tidak mengalami kerusakan mental/ Net
Namun apapun yang terjadi, yang terpenting bagaimana diri kita masing-masing mengupayakan kehidupan ini tidak mengalami kerusakan mental/ Net
KOMENTAR

KENGERIAN itu terlalu menyakitkan bagi segenap nurani bangsa. Karena ini bukan mengenai jumlah korban yang berjatuhan, melainkan tentang nilai kemanusiaan yang terkoyak. Bahkan kata ngeri pun belum mampu menggambarkan perihal kepedihan yang mengiris hati.

Seorang ibu tega menggorok leher buah hatinya, hasilnya dua anak kritis dan satu anak meninggal dunia.

Duhai ibu, mengapa engkau tega?

Hukuman berat pun belum akan menjadi solusi terbaik, sebab kengerian itu sejatinya masalah kita bersama. Malahan, kejadian ibu menghabisi darah dagingnya sendiri itu ibarat puncak gunung es, masalah-masalah yang tidak terlihat jauh lebih banyak.

Berhentilah menyalahkan apalagi menghujat, sebab kini saatnya kita bersama-sama introspeksi diri.     

Kejadian mengerikan macam itu tidak tiba-tiba saja terjadi, rata-rata dilatarbelakangi sejumlah sebab:

Pertama, ibu yang mengalami masa kecil yang buruk.

Betapa sempurnanya ibu itu di mata publik. Dia ramah, mudah tersenyum dan rajin tertawa. Ibu itu juga gemar menolong. Orang-orang menyebutnya ibu teladan.

Sempurna di mata publik, tetapi di mata anak-anaknya ibu mereka bagaikan monster. Setibanya di rumah banjir omelan yang akan diterima dari sang ibu. Selain pukulan atau siksaan fisik, anak-anak juga mengalami siksaan psikis berupa cacian, makian serta hinaan.

Sang ibu mengalami masa kecil yang buruk, entah itu kekerasan dari orangtuanya begitu pun dari kakak-kakaknya yang preman pasar. Akhirnya, perempuan itu balik menumpahkan dendam masa lalu pada anak-anaknya. Ibu itu tetap tampil sempuna di pantas publik, tanpa menyadari anaknya berulang kali berupaya melakukan bunuh diri.

Kedua, ibu yang pernikahannya bermasalah

Seorang istri marah pada anaknya, “Apa kamu kira gampang jadi istri? Apa kamu tahu harga-harga pada naik minyak goreng hilang? Apa kamu mengerti beratnya pekerjaan rumah tangga?”

Malangnya, anak yang kena marah itu baru berusia tiga tahun. Sementara suaminya lagi ngorok di pembaringan. Pernikahan bermasalah itu memang bikin stres, tetapi bukan anak juga kali yang dikorbankan.

Ketiga, ibu yang mengalami tekanan dari lingkungan

Setiap kali berangkat kantor, perempuan berkulit bening itu berkata, “Mau ke kandang singa!”

Malang baginya punya bos galak minta ampun, apapun yang dilakukan pasti salah. Ibu itu tidak pernah sarapan pagi karena akan kenyang dengan sarapan omelan dari bosnya. Deritanya makin berat akibat bullying dari rekan-rekan sejawat, plus seabrek-abrek beban kerja yang membuatnya nyaris gila.

Lebih malang lagi, ibu itu malah membalaskan semua sesak di dada kepada anak-anaknya, ibarat bendungan yang akhirnya jebol juga. Dia takut membalas kepada teman apalagi bos, melampiaskan pada suami pun tak bernyali. Hanya anak-anak polos tak berdaya yang dijadikannya sasaran.     

Keempat, ibu yang memaksa dirinya sendiri

Telinga ibu itu bagai radar canggih, karena mampu menangkap berbagai kabar dengan cepat. Tetangga beli kulkas baru, dia pun memaksakan diri membeli juga. Tetangga punya mobil baru, dia mati-matian memilikinya. Tapi giliran tetangga punya istri baru, ibu itu tenang-tennag saja.

Sayangnya, segala proyek memaksakan diri tersebut berujung besar pasak dari pada tiang. Akibat stres dikejar-kejar rentenir sadis yang menagih hutang, ibu itu pun melampiaskan angkara murka kepada anaknya. Lho, jadi takut sama suami toh? Tidak juga. Tetapi suaminya sudah kabur duluan.

Kelima, keenam, ketujuh .... dan seterusnya silahkan ditambahkan sendiri. Pada intinya, ibu yang tega menyakiti anaknya tentulah lagi bermasalah dengan mentalnya.

Lantas bagaimana?

Ada sejumlah masukan yang dapat dipertimbangkan, di antaranya:

Pertama, kesehatan mental adalah yang utama




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur