Gibah merupakan pilihan orang-orang yang putus asa dengan hidupnya. Tidak berani mengambil risiko untuk meraih kemajuan, akhirnya dia malah menjelek-jelekan pihak lain/ Net
Gibah merupakan pilihan orang-orang yang putus asa dengan hidupnya. Tidak berani mengambil risiko untuk meraih kemajuan, akhirnya dia malah menjelek-jelekan pihak lain/ Net
KOMENTAR

DIPERKIRAKAN lebih dari 7 milyar penduduk bumi, maka sebanyak itu pula mulut yang berkicau tiap harinya. Jelas, tidak ada orang yang mampu mengontrol sebanyak itu mulut. Lagi pula apa gunanya juga kan? Toh, terkadang kita pun tidak mampu mengendalikan lisan sendiri.

Fakta ini hendaknya menyadarkan kita untuk fokus terhadap apa yang dapat dikendalikan, yaitu hati sendiri. Apabila hati dibiarkan baper, maka kita akan teramat sering tersakiti oleh demikian banyak mulut yang kurang akhlaknya dalam berbicara.

Kita kendalikan saja diri sendiri agar fokus menata hati yang setangguh karang, dan tidak peduli dengan mulut-mulut lain yang tidak mungkin kita kendalikan.

Dan gibah merupakan salah satu omongan mulut yang menyakitkan bagi kebanyakan orang.

Bayangkan, keburukan atau kelemahan kita dijadikan topik viral umat manusia, bagaimana tidak sakit?

Tentang omongan yang tidak mengenakan atau bahkan yang menyakitkan, kita tidak perlu baper apalagi sampai memasukannya ke dalam lubuk hati, hingga membuatnya berdarah-darah.

Sebelumnya, perlu dipahami dulu apa itu gibah?

Imam an-Nawawi pada Kitab Induk Doa dan Zikir Terjemah Kitab al-Adzkar Imam an-Nawawi (2018: 442) menerangkan, gibah adalah ketika kamu menceritakan seseorang tentang apa yang dibenci olehnya, baik pada bentuk badan, agama, keduniaannya, kejiwaan, bentuk tubuh, tata krama, harta, anak, bapak, istri, pembantu, budak, serban, pakaian, jalannya, geraknya, senyuman, kecemberutannya, dan lain sebagainya dari apa yang berhubungan dengannya, baik penyebutannya melalui ucapan atau surat, dengan rumus, isyarat dengan mata, dengan tangan, kepala, dan lain sebagainya.

Demikian detailnya Imam an-Nawawi merinci tentang hal-hal yang tergolong gibah. Namun, secara garis besar gibah adalah membahas hal-hal yang tidak disukai oleh orang tersebut. Selain menimbulkan rasa sakit bagi orang tersebut, gibah juga tergolong dosa.

Jika kita pernah merasa sakit karena digibahi, maka sadarilah sesungguhnya yang paling sakit itu adalah orang-orang yang suka bergibah itu. Ya, hanya jiwa yang sakit gemar bergibah. Kalau orang yang hidupnya bahagia, tidak akan punya waktu untuk terlibat gibah apapun.

Ada kejadian menarik nih!

Suatu ketika seseorang menyebut secara terbuka tentang kegagalannya dalam berbisnis. Itu tidak terlepas dari kebiasaan buruk dirinya yang berujung kesalahan yang berulang. Kini, tiba-tiba dia merasa teramat lemah dalam ketidakberdayaan.

Ceritanya cukup panjang dan lumayan detail tentang keterpurukan dirinya. Teman-temannya merespons dengan memperingatkan, “Engkau hanya akan menjadi bahan gibah. Mereka selama ini mencari-cari keburukanmu. Kini mereka gembira.”

Orang tersebut memberi tanggapan yang mencengangkan, “Jika mereka gembira dengan menggibahku, maka lakukanlah!”

Malahan dia merasa tidak nyaman selama ini dipandang sempurna oleh banyak penggemarnya, mereka tidak tahu dirinya juga memiliki kelemahan, kesalahan dan juga keburukan. “Pandanglah aku sebagai manusia biasa,” tuturnya.

Lha, bagaimana dong kalau sampai digibah?

“I don’t care, “sahutnya.

Gibah merupakan pilihan orang-orang yang putus asa dengan hidupnya. Tidak berani mengambil risiko untuk meraih kemajuan, akhirnya dia malah menjelek-jelekan pihak lain, kecewa terhadap sendiri kemudian menyoroti kelemahan orang lain.

Kita tidak salah dan tidak tidak perlu merasa bersalah saat digibah pihak lain. Karena yang salah itu adalah ketika kita turut bergelimang dosa gibah. Kesalahan itu makin pekat jika sudahlah digibahi kita pun menyiksa batin sendiri.

Itulah kesalahan yang paling penting untuk dijauhi sejauh-jauhnya!

Ada seorang ulama yang terkena gibah yang cukup parah, saking parahnya dia pun tidak mendapat tempat lagi berceramah atau berdakwah di kota kelahirannya. Kita dapat membayangkan betapa kejinya gibah bercampur fitnah itu.

Tetapi dirinya tetap tenang dan berprinsip, “Saya ambil pahalanya saja?”

Apa maksudnya dengan ambil pahalanya? Penjelasan tentang hal ini akan ada di bagian akhir.

Namun, ulama itu malah bersyukur. Karena kemudian Tuhan memberinya kesempatan yang lebih membahagiakan, malah terbuka peluang baginya berdakwah di Jakarta, dan dia pun menapaki kegemilangan di level nasional bahkan internasional.




Menyelamatkan Hati dari Rasa Sakit

Sebelumnya

Bangsa Bermental Merdeka

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur