Jika memang butuh sekali untuk benci, maka bencilah kepada sifat-sifat buruk orang tersebut, bukan dengan membenci dirinya, apalagi main hakim sendiri padanya. Jangan!
Agar hikmahnya makin luas, maka perlu juga dibahas; berhati-hatilah menjaga kata-kata, apalagi di media sosial yang medan pergunjingannya tiada bertepi. Berhati-hatilah, agar mulut tidak menyinggung agama, karena perang terlama di dunia ini adalah perang agama.
Percayalah, masih banyak cara yang lebih soft untuk menyampaikan gagasan, masih banyak jenis kata yang lebih lembut dalam membangun perubahan. Percayalah!
Akhirnya, tidak ada alasan yang dapat dijadikan pembenaran untuk berbuat anarkis, apalagi main hakim sendiri. Apalagi Islam mendahulukan akhlak. Bahkan dalam perang pun ada akhlak yang dipertontonkan.
Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam buku Shalahuddin Al-Ayyubi Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis (2013: 11) menerangkan, sebagai contoh, apa yang dialami Raja Richard ketika sakit; dia mendapatkan kiriman buah-buahan dan minuman dari kaum muslimin, dan datangnya dokter kiriman dari Shalahuddin Al-Ayyubi untuk mengobati penyakit yang dideritanya. Kondisi yang saling membaur seperti ini memiliki pengaruh sangat besar bagi kehidupan para tentara Eropa (salibis).
Perang Salib yang demikian legendaris memberi mutiara-mutiara keindahan kepada sejarah, sebab kaum muslimin pun berlomba-lomba memberikan kebaikan terhadap pasukan Salib yang datang menyerang.
Shalahuddin mengobati dulu musuhnya, baru setelah benar-benar sehat berperang dengan ksatria. Aksi pemimpin umat Islam itu menuai banyak pujian, karena menggambarkan keindahan agama yang dianutnya.
Lalu, apa yang dapat dipuji dari aksi pemukulan brutal hingga penelanjangan yang viral itu?
Tragedi ini sudah cukup menjadi bahan introspeksi bagi seluruh elemen bangsa, di balik gemerlapnya pembangunan fisik yang melelahkan dalam urusan timbunan utang, telah terabaikan pembangunan softvare atau faktor mental bangsa yang kian merapuh.
KOMENTAR ANDA