Mahar itu hendaknya dimudahkan tetapi bukan dalam arti menggampangkan. Jangan sampai suami yang memiliki kemampuan keuangan yang kuat bahkan tergolong kaya tetapi maharnya ala kadar belaka atau terkesan remeh-temeh. Baru di permulaan pernikahan sudah terlihat sang suami yang keterlaluan perhitungannya. Jangankan terhadap istri, kepada orang-orang lain dianjurkan pemberian yang terbaik.
Adapun Rasulullah merestui pernikahan dengan cincin besi atau pun bacaan Al-Qur’an tidak terlepas dari kemampuan finansial calon suami yang amat terbatas. Demikian pula Nabi Muhammad ikhlas menerima mahar yang teramat ringan nilainya dari Ali bin Abi Thalib ketika menikahi Fatimah.
Lain ceritanya dengan pernikahan sahabat-sahabatnya yang tajir. Semisal Abdurrahman bin Auf yang mempersembahkan emas sebagai mahar bagi istrinya. Bahkan Nabi Muhammad sendiri dalam pernikahan sucinya, menyerahkan emas atau harta yang sepadan dalam jumlah yang besar.
Ahmad ibn Mustafa Farrān dalam Tafsir Imam Syafi'i (2007: 13) menyebutkan, Imam Syafi'i berkata, “Berniat memberikan mahar merupakan perbuatan yang lebih kami sukai. Kaum laki-laki dianjurkan untuk tidak melebihi jumlah mahar yang pernah diberikan Rasulullah kepada para istrinya ataupun yang ditetapkannya bagi putri-putrinya, yakni sebanyak lima ratus dirham. Hal itu sebagai upaya mencari berkah meneladani segala perbuatan Rasulullah.”
Sampai disini dapat dipahami, jangan bermudah-mudah dalam urusan mahar dan jangan pula bermegah-megah, apalagi sampai melampaui dari batas kemampuan.
Bagusnya daerah tertentu yang menyebut mahar sebagai uang jujur, karena kejujuran itu adalah pangkal langgengnya rumah tangga. Intinya, dalam perkara mahar, sebelum pernikahan calon suami istri mestilah jujur apa adanya.
Lalu mahar itu mau diapakan ya?
Terkadang ada pula suami yang belum memahami hakikat mahar adalah milik istri. Dan tidak jarang ditemukan suami yang merasa mahar itu milik dirinya, yang malangnya tak jarang dijual pula untuk kesenangan hidupnya.
Sekalipun itu adalah mahar yang diserahkan kepada istri, tetapi mahar itu bukan hak milik pribadi suami, yang tidak boleh dipakai seenaknya saja. Hak istri mestilah dihormati setinggi-tingginya, lagi pula mahar itu merupakan kenangan terindah bagi kehidupan istrinya.
Lantas bagaimana maksud dari surat An-Nisa ayat 4, yang artinya, “Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”
Ya, memang agama Islam membuka peluang bagi suami untuk turut menikmati sebagian dari mahar. Tetapi, karena mahar telah menjadi milik istri jelas sekali dibutuhkan kerelaan. Hanya ketika istri rela makanya mahar dapat turut dinikmati oleh suami.
Misalnya, tatkala suami bangkrut dan tidak berdaya menghadapi krisis keuangan. Kemudian dengan rela hati istri menyerahkan sebagian uang maharnya untuk dijadikan modal merintis lagi usaha. Nah, pada kejadian macam ini, saat kerelaan itu memang terbit dari lubuk hati istri, makanya mahar pun dapat dinikmati.
Namun, sebagai suami sejati perlu tegak di atas kehormatan dirinya sendiri. Jangan bergampang-gampang diri dalam memakai mahar yang hak milik istri. Meski istri teramat rela mengingat kondisi suami yang terjepit, hendaknya kehormatan dirinya juga dibela oleh suami, yang sebaiknya mengganti mahar itu di kemudian hari.
Hamka (2015: 201) mengungkapkan, setelah mas kawin diberikan, yang timbul dari hati suci bersih, mas kawin telah menjadi hak perempuan. Telah menjadi dia yang empunya. Sebagaimana juga barang-barang di dalam rumah, baik pemberian ayah bundanya atau hadiah suaminya, yang telah diberikan kepadanya haknya mutlak.
Lelaki yang beriman dan berbudi tidak akan mengganggu hak itu. Mas kawin itu telah dia empunya.
Akan tetapi, kalau dia sudi pula memberikan sebagiannya karena kasih sayang yang telah berjalin, tidaklah mengapa, yaitu setelah jelas bahwa itu telah ke tangannya.
Hamka mengingatkan, akan tetapi, dengan ini tidak berarti bahwa perempuan atau walinya dibolehkan maafkan mahar saja sebelum akad nikah. Hati bersih tidaklah berarti bahwa ketentuan agama boleh diubah. Terima dulu mas kawin, setelah dalam tangan, bolehlah kalau hendak memberi pula kepada suami dengan hati cinta.
Demikianlah ketentuan mahar tertera dalam Al-Qur’an, sebagai penghormatan terhadap kemuliaan martabat perempuan. Calon suami istri perlu saling jujur membahas perkara mahar agar tidak menjadi utang yang berujung prahara. Bahkan Al-Qur’an pun menerangkan pemanfaatan mahar yang mestinya berlandaskan kerelaan hati. Karena perkara mahar merupakan pangkal mula dari perjalanan sakinah bahtera pernikahan.
KOMENTAR ANDA