DI RAHIM suci Aminah bersemayam cahaya mulia yang dititipkan Ilahi, cahaya yang akan menerangi segenap penjuru dunia hingga akhir masa. Setelah kepergian suaminya berdagang ke Syam, maka Aminah mendapati haidnya telah terhenti. Itu pertanda baik, kabar gembira bagi perempuan sejati.
Alangkah indahnya kebahagiaan hatinya ketika nanti dapat membisikkan kabar baik langsung ke telinga Abdullah. Akan tetapi Aminah mestilah bersabar menanti kepulangan suami. Dua bulan lambat laun juga akan berlalu, hari akan terus berganti, dan Aminah pun akan menyambut ceria Abdullah dengan kabar kehamilan dirinya.
Tetapi, kafilah dagang Quraisy belum juga kembali, yang membuat sanak keluarga mereka di Mekah dilanda kecemasan. Mereka takut kejadian buruk telah menimpa rombongan dagang ke Syam.
Akhirnya rombongan itu pulang juga, tapi tidak ada Abdullah bin Abdul Muthalib yang menyertai. Bukan suami yang datang, melainkan kabar kemalangan yang membuat sendi-sendi tubuh Aminah menjadi goyah.
H. M. H. Al-Hamid Al-Husaini dalam buku Membangun Peradaban Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi (2000: 184) menceritakan, sebagaimana diketahui Abdul Muthalib (nama aslinya Syaibah) ibunya adalah seorang wanita dari Bani Najjar. Dengan demikian maka Abdullah memiliki banyak kerabat di Madinah. Dalam masa persinggahan sementara itu Abdullah sakit.
Hari demi hari sebagian rombongan kafilahnya menanti kesembuhannya, tetapi penyakit Abdullah bahkan bertambah berat. Pada akhirnya sisa kafilah yang menantinya berangkat pulang lebih dahulu. Perawatan Abdullah di Madinah diserahkan kepada salah satu keluarga dari Bani Najjar.
Abdul Muthalib memerintahkan putera sulungnya, Al-Harits, bersama sejumlah kerabat segera berangkat ke Yatsrib untuk mengurus dan membawa Abdullah pulang ke Mekah. Akan tetapi baru saja Al-Harits tiba di Yatsrib, Allah menghendaki Abdullah pulang ke haribaan-Nya. Abdullah wafat setelah menderita sakit selama kurang lebih dua bulan. Jenazahnya diurus dengan baik oleh kerabatnya dari Bani Najjar.
Al-Harits kembali ke Mekah membawa harta milik Abdullah, terdiri atas lima ekor unta, beberapa ekor kambing dan seorang perempuan pengasuh berasal dari Habasyah, bernama Ummu Aiman.
Dari warisan itu terlihat Abdullah bukanlah pemuda miskin dan bukan pula kaya raya. Sebelum hayat terpisah dari raga, dia masih memberikan bekal hidup bagi istri dan kelak anaknya. Dan bagi Aminah terbentanglah kehidupan yang tidak lagi mudah. Harapannya sekadar memberi kabar bahagia pun tidak menjadi kenyataan.
Seorang pengantin baru yang lagi hamil muda menerima kabar kematian suami tercinta, tentunya merupakan pukulan psikologis yang teramat berat. Terlebih Aminah tidak berada di sisi suami saat meninggal dunia, dan bayi yang dikandungnya tidak akan pernah mengetahui rupa ayahandanya. Duka cita pun melanda Aminah yang masih mencium aroma sedap dari baju pengantinnya, secepat itu pula dirinya menjadi janda.
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dalam buku Sirah Nabawiyah (1997: 47) menceritakan, setelah kabar kematiannya tiba di Mekah, Aminah mengenakan pakaian-pakaian serba usang, dan berkata dalam sebuah syair:
Seorang anak Hasyim telah mati di sisi Bathha’, menyisihkan liang lahat di tempat yang jauh di sana.
Banyak ajakan cita-cita yang hendak dipenuhi.
Tidak banyak yang ditinggalkan seperti anak Hasyim ini.
Mereka membawa tempat tidurnya di senja hari.
Rekan-rekannya menampakkannya beramai-ramai, cita-cita dan keraguannya kian melambung.
Dia telah banyak memberikan kasih sayang.”
Amat wajar kesedihan itu meremukkan hati Aminah, toh dirinya perempuan normal yang juga mencicipi pahitnya lara. Hebatnya, dalam kemalangan itu Aminah masih sempat menggubah syair-syair yang menggugah. Selanjutnya, Aminah menguatkan hatinya, sebab janin yang bersemayam di rahim suci akan menjadi pelanjut kisah cinta sejati.
Kehamilan yang diliputi keberkahan itu pun dipayungi oleh berbagai kejadian menakjubkan. Aminah mulai membiasakan diri menghadapi kejadian-kejadian luar biasa sejak dirinya mengandung.
Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam al-Muafiri dalam buku Sirah Nabawiyah lbnu Hisyam Jilid 1 (2020: 130) mengungkapkan, Aminah binti Wahb, ibunda Rasulullah bercerita, ketika mengandung ia bermimpi didatangi seseorang kemudian orang tersebut berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau mengandung pemimpin umat ini. Jika engkau melahirkannya, ucapkan, ‘Aku meminta perlindungan untuknya kepada Allah Yang Maha Esa dari keburukan semua pendengki, dan beri nama dia Muhammad. “
Ketika Aminah mengandung Rasulullah, ia melihat seberkas sinar keluar dari perutnya dan dengan sinar tersebut ia bisa melihat istana-istana di Syam.
Pertanda demi pertanda dari langit itu menjadi penyejuk hati bagi Aminah yang telah menjanda. Dirinya memahami yang tengah dikandung bukanlah insan biasa, melainkan pilihan Tuhan yang akan menerangi dunia, yang cahayanya akan mengalahkan kemegahan istana-istana raja-raja digdaya.
Tuhan telah menyiapkan skenario terbaik bagi menyambut kelahiran manusia pilihan. Aminah salah seorang lakon yang berperan dengan kesabaran mengagumkan. Kebahagiaan bukan hanya untuk Aminah beserta keluarganya, tetapi kehamilan dirinya juga menyemarakkan para penghuni langit.
Syaikh ash-Shafuri dalam buku Nasihat Langit Penenteram Jiwa Jilid 4 (2021: 25) mengutarakan, dalam kitab Raudhah al-Afkar disebutkan riwayat dari Sahal, ketika hendak menciptakan Muhammad dalam perut ibunya, Allah memerintahkan Malaikat Ridwan, penjaga surga, untuk membuka pintu-pintu Firdaus pada malam itu.
KOMENTAR ANDA