AMINAH amat terbantu berkat memiliki mertua secakap Abdul Muthalib, di usianya yang uzur lelaki tua itu masih cekatan mengurusi cucunya. Aminah memercayakan segala urusan hingga putranya memperoleh hak-haknya, seperti pemberian dan pengumuman nama, akikah dan juga khitan. Ketiadaan ayah tidak membuat anak Aminah itu terlantar.
Moenawar Khalil dalam bukunya Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Volume 1 (2001: 68-69) menguraikan, salah satu kebiasaan bangsa Arab pada masa itu, terutama para bangsawan Quraisy Mekah adalah jika anak laki-laki yang dilahirkan sudah menginjak usia tujuh hari, dia akan dikhitan dan diberi nama. Oleh sebab itu, ketika Nabi saw. sudah berusia tujuh hari, dia dikhitan oleh kakeknya sendiri (Abdul Muthalib), kemudian diberi nama, Muhammad.
Abdul Muthalib mengadakan satu perjamuan besar di rumahnya. Ketika itu, hampir semua para pembesar dan para bangsawan di kota Mekah diundang. Di antara para tamu perjamuan itu ada yang bertanya kepadanya, mengapa dia memberikan nama untuk salah seorang keturunan dengan nama yang tidak biasa dipakai oleh bangsa Arab.
Pertanyaan itu dijawabnya, “Aku berharap mudah-mudahan dia (anak yang baru lahir) menjadi orang yang terpuji di langit pada sisi Allah dan terpuji di bumi pada sisi makhluk-Nya.”
Penamaan Muhammad ini telah sesuai dengan harapan Aminah, yang sebelumnya sudah mendapatkan petunjuk Ilahi tentang nama yang terpuji bagi anaknya. Abdul Muthalib pun menetapkan nama Muhammad bagi cucunya meskipun belum lazim bagi bangsa Arab di masa itu. Namun, Abdul Muthalib maupun Aminah meneguhkan hati mereka, sebab nama Muhammad memiliki kandungan makna yang teramat luhur, yakni yang terpuji.
Annemarie Schimmel dalam buku Dan Muhammad adalah Utusan Allah (2019: 20) mengungkapkan, ternyata, penghormatan pada nama Muhammad ini bahkan sudah dimulai sejak masa hidup Nabi saw., karena Qadhi Iyadh mengutip sebuah sajak oleh Hassan bin Tsabit, penyair Nabi, sang penyair Arab termasyhur itu menyinggung hubungan antara nama Muhammad dan salah satu sifat Allah, Mahmud: Allah mengambil untuknya, demi menghormatinya, bagian dari nama-Nya.
Demikianlah Allah, Tuhan Arasy, dinamakan Mahmud, dan yang ini dinamakan Muhammad.
Muhammad adalah isim maf'ul (partisip pasif) dari bentuk kedua kata kerja hamida, “memuji, menyanjung,” dan berarti “(orang yang) pantas dipuji, (orang yang) sering disanjung.”
Faktor adanya petunjuk Tuhan inilah yang mempengaruhi pemilihan nama bagi Nabi Muhammad, sebagaimana di kemudian hari pun diketahui makna lebih agung dari nama tersebut.
Bayi yang dilahirkan Aminah itu membutuhkan lingkungan yang sehat, dan juga ASI yang memadai. Dan sudah menjadi tradisi dalam masyarakat Arab mencarikan ibu susuan untuk bayi-bayi mereka, demikian pula halnya dengan Nabi Muhammad.
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam buku Ar-Rahiq al-Makhtum-Sirah Nabawiyah (2016: 66) menjelaskan, sudah menjadi tradisi bangsa Arab saat itu untuk mencari perempuan pedalaman untuk menyusui bayi-bayi mereka. Tujuannya agar si bayi terhindar dari penyakit yang biasa menyebar di perkotaan, agar ia bisa tumbuh dengan fisik yang kuat, juga terasah kefasihan bahasa Arabnya sejak kecil.
Di masa itu memang cukup banyak perempuan desa yang berdatangan ke Mekah, membujuk orang-orang kaya untuk mempercayakan penyusuan dan pengasuhan bayi-bayi mereka. Tentunya ada imbalan yang menyertai pekerjaan mulia ini, yang jumlahnya disesuaikan dengan kekayaan orang tua bayi tersebut.
Pada saat itu pula bayi bernama Muhammad belum pula memperoleh ibu susuan, perempuan-perempuan itu tidak menunjukkan minat karena dia adalah bayi yatim, yang tanpa adanya ayah tidak banyak pula upah yang dapat diharapkan.
H. M. H. Al-Hamid Al-Husaini dalam buku Membangun Peradaban Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi (2000: 196) menceritakan, Aminah dapat mengerti apa sebab para wanita Bani Sa’ad yang datang kepadanya tak seorang pun dari mereka yang menawarkan jasa menyusui anaknya.
Namun ia tabah dan sabar, pikirannya masih terpancang pada nasib suaminya yang belum lama wafat dalam perjalanan dan tidak meninggalkan harta kekayaan apapun selain lima ekor unta, beberapa ekor kambing dan seorang hamba sahaya, Ummu Aiman. Tidak hanya Aminah yang sedih dan pilu, Ummu Aiman lebih sedih lagi, karena ia merasa tidak sanggup membantu Aminah menyusui putranya.
Kendati Aminah binti Wahb dan Ummu Aiman agak sedih karena tidak ada wanita yang menawarkan jasa menyusui putranya, namun terhibur oleh keyakinannya akan tanda-tanda kebesaran yang menyertai kelahiran putranya. Ia yakin bahwa Allah pasti akan memberi jalan keluar dari kesukaran yang dihadapinya.
Sama seperti perempuan-perempuan lainnya dari Bani Sa’ad yang menyusui demi mengharapkan imbalan yang memuaskan, demikian pula harapan Halimah yang datang jauh-jauh dari desanya.
Ketika wanita-wanita Bani Sa’ad telah hendak pulang dengan memboyong bayi-bayi orang kaya yang diamanahkan penyusuan dan pengasuhannya, sementara itu Halimah tak kunjung memperoleh bayi. Dia terancam pulang kampung dengan tangan hampa.
Satu-satunya harapan Halimah hanyalah bayi dari Aminah, tentunya dengan tidak dapat berharap imbalan yang besar. Kondisi itupun dibicarakan terlebih dulu dengan suaminya yang turut menyertai perjalanan ke Mekah.
H. M. H. Al-Hamid Al-Husaini dalam buku Membangun Peradaban Sejarah Muhammad Saw. Sejak Sebelum Diutus Menjadi Nabi (2000: 197) menceritakan, kepada suaminya Halimah berkata, “Sesungguhnya hati saya tertarik melihat anak yatim itu. Ibunya pun wanita yang lemah lembut dan mempunyai sifat-sifat mulia. Bisikan hatiku berkata, bawa saja anak itu, betapapun kecilnya imbalan jasa yang akan diterima dari ibu atau datuknya.”
Suaminya menjawab, “Kalau begitu biarlah kita tunda dahulu kepulangan ke kampung halaman. Kita tunggu saja beberapa hari lagi. Siapa tahu akan beroleh anak susuan lainnya.”
Akan tetapi Halimah selalu teringat akan anak yatim itu, ia merasa kasihan dan sayang. Ia lalu berkata kepada suaminya, “Biarlah anak yatim itu kita terima saja sebagai anak susuan, mudah-mudahan Allah melimpahkan barakah-Nya kepada kita.”
Suaminya setuju, kemudian Halimah berangkat ke rumah Aminah untuk menawarkan jasa menyusui putranya yang baru berumur dua bulan.
Keinginan Halimah itu pun disampaikan kepada Abdul Muthalib yang memang lagi giat-giatnya mencarikan ibu susuan buat cucunya. Kesediaan Halimah membuat sang kakek amat gembira.
KOMENTAR ANDA