Akan selalu ada doa dalam tiap hela nafas Atalia Praratya yang akan terus menaungi kemanapun Eril bermuara/ Net
Akan selalu ada doa dalam tiap hela nafas Atalia Praratya yang akan terus menaungi kemanapun Eril bermuara/ Net
KOMENTAR

TAK ada seorangpun ibu pun yang siap kehilangan anaknya. Terlebih bila kejadiannya seperti yang dialami Atalia Praratya, musibah yang masih menyisakan misteri bagi kita semua. Mari sejenak kita merefleksikan diri, kira-kira bagaimana rasanya menjadi seorang ibu dari Eril yang berhati bidadari?

Kita membayangkan putra tercinta yang terjun ke sungai, demi memastikan keamanan bagi adik perempuan dan temannya berenang di sungai Aare. Tiba-tiba seperti ada sesuatu yang menariknya, hingga putranya itu terseret, terhanyut dan menghilang persis di pelupuk mata sang bunda.

Membayangkan saja bisa membuat bulu kuduk berdiri, karena ini adalah kejadian yang sama sekali tak terduga.

Andai yang mengalaminya itu seseorang yang lemah imannya, atau rapuh hatinya, bisa-bisa dirinya mungkin langsung ambruk. Bukankah ada ibu yang sampai terganggu kejiwaannya, atau rusak hidupnya karena tidak kuat menghadapi musibah besar yang menerkam anaknya?

Akan tetapi Atalia Praratya, yang tidak saja berdiri tegar menatap polisi maritim Swiss yang terus bekerja keras, istri Ridwan Kamil itu ikut terjun mencari, turut menyusuri sungai Aree di Bern, khususnya menyelisik bagian-bagian yang dikira potensial memberikan harapan.

Siapa bilang perempuan itu makhluk yang lemah? Ketika itu berurusan dengan keselamatan anaknya, maka perempuan akan menyalakan energi cinta yang menakjubkan.

Lihatlah Atalia yang tetap tegak lurus mengejar secercah harapan bagi putranya. Apakah ini hakikat kekuatan seorang ibu, yang ketika anaknya terkena musibah, maka dirinya menjadi lebih gagah daripada singa?

Dari manakah datangnya ketegaran sedahsyat itu? Apakah kekuatan tersebut muncul bergelora karena anak itu pernah bersemayam di rahimnya selama sembilan bulan sehingga terbentuk jalinan hati demikian kokoh? Apakah karena si ibu melahirkannya dengan melalui fase antara hidup dan mati, yang melatihnya untuk kuat menghadapi cobaan dunia?

Entahlah! Akan lebih tepat jika ibu-ibu yang sudi menjawabnya, yang bapak-bapak sih manut saja.

Bersama doa yang menggetarkan hati, Atalia bersama suaminya Ridwan Kamil saling menguatkan.

Karena memang akan datang masanya dimana hanya doa orangtua yang dapat menjaga anak-anaknya.

Atalia sudah ikhlas dengan apapun yang ditakdirkan oleh Ilahi, tetapi sang ibunda maju tak gentar, terus berikhtiar melanjutkan pencarian.

Namun, apa mau dikata; Eril jago berenang, dia punya sertifikat diving namun inilah Qadarullah.

Tidak ada yang aneh! Pilot jatuh bersama pesawatnya, joki tersungkur gara-gara kudanya, nakhoda tenggelam dengan kapalnya.

Mengapa bisa? Ya begitulah rahasianya ujian kehidupan.

Sungai Aare tidak pantas disalahkan, apalagi kalau sampai ada yang tega-teganya mencapnya sebagai sungai yang buruk. Karena, sungai yang berasal dari lelehan salju pegunungan Alpen yang indah itu tidak bersalah apa-apa atas musibah ini, bukankah memang tugas alamiah sungai menghanyutkan apapun yang dilaluinya.

Apapun ujian kehidupan, pada dasarnya bertujuan menakar seberapa besar keikhlasan kita. Bukan hanya Atalia yang mesti berhadapan dengan masa-masa kritis anaknya, Hajar pun melalui ujian keikhlasan yang sulit ditandingi.

Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar bersama putranya yang masih bayi, Ismail di gurun pasir, tentunya atas perintah Allah Swt. Dan dengan melalui perjuangan teramat heroik, Hajar berhasil menyelamatkan dan membesarkan putranya, bahkan tempat yang dulu sepi sunyi dikepung panasnya padang pasir itu berubah menjadi kota Mekah.

Tiba-tiba saja Nabi Ibrahim datang dengan membawa pesan Tuhan agar Ismail disembelih atau dikurbankan. Jangan ditanya betapa beratnya kecamuk perang batin Hajar menyaksikan perintah Tuhan yang harus ditunaikan, apalagi ketika melihat suaminya telah menyiapkan pedang tajam dan putranya telah berbaring.

Hajar paham ujian itu adalah menakar keikhlasan. Perempuan itu memilih untuk memurnikan keikhlasannya dan menerima ujian dari Ilahi dengan lapang dada.

Bey Arifin dalam bukunya Rangkaian Cerita Dalam Al-Qur’an (1987: 89) menguraikan, Ismail dan ibunya sudah diuji ditinggalkan sendirian di tengah padang pasir tanpa bekal dan tak ada manusia.

Keduanya tabah dan selamat pula. Sekarang keduanya diuji dengan ujian yang lebih berat, yaitu dengan mata pedangnya sendiri diperintahkan menyembelih leher anaknya yang sangat dicintainya, yang baru saja berjumpa setelah berpisah bertahun-tahun lamanya. Keduanya pun tabah. Sungguh tak ada sesuatu yang lebih besar dari keimanan di alam yang luas ini.

Bagian akhir dari kutipan di atas yang teramat menggugah untuk diulang-ulang: Sungguh tak ada sesuatu yang lebih besar dari keimanan di alam yang luas ini.

Akhirnya, Tuhan pula yang berkehendak, Nabi Ibrahim tidak menyembelih Ismail, karena Allah menggantinya dengan seekor domba. Ismail pun selamat, Hajar mendekap putranya dengan sepenuh kasih. Ujian hidup telah dilalui Hajar dengan iman yang utuh, dengan keikhlasan yang paripurna.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur