Para ulama yang mengharuskan adanya mahram bagi perempuan berhaji memegang teguh pada sebuah hadis. Sedangkan para ulama yang membolehkan berhaji tanpa mahram juga berlandaskan hadis. Lho, sama-sama berpegang pada hadis kok malah beda fatwa ya?
Setiap hadis itu memiliki latar belakang sosial tersendiri. Nah, inilah yang acap kali terabaikan oleh sebagian orang tatkala berupaya memahami hadis. Bukan hadis-hadisnya yang bertentangan, melainkan kondisi sosialnya yang berbeda.
Nabi Muhammad saw. pernah mengeluarkan hadis, perlunya perempuan bepergian didampingi mahram tidak terlepas dari berbahayanya kondisi di masa itu. Musuh-musuh Islam mengintai di mana saja, dan keamanan muslimah tentulah mesti diutamakan.
Begitu pun fatwa Abu Hanifah dan sebagian ulama lainnya, mereka mewajibkan mahram berhaji karena keadaan di masanya yang tidak aman. Perjalanan dari Mekah ke Madinah saja masih mengandalkan unta mengarungi padang pasir. Ini jelas berbahaya dan apalagi kalau jamaah haji perempuan itu berdatangan dari negara-negara yang jauh.
Jadi, fatwa kalangan ulama tentang pentingnya mahram ini memang benar untuk kondisi masanya.
Kalau dicermati, diamati dan diteliti, tidak ada perbedaan ekstrim dari hakikat yang dikandung kedua pendapat tersebut. Malahan dua-duanya saling menguatkan demi kelancaran ibadah haji.
Kedua hadis tersebut sama-sama punya kata kunci, yaitu faktor keamanan. Apabila kondisi kurang aman maka muslimah butuh pendampingan mahram, dan bila keadaan lagi aman sentosa maka muslimah tidak harus ditemani.
Namun, kondisi sekarang pun telah berbeda jauh. Jarak dapat dilipat, waktu bisa dipangkas, faktor keamanan pun lebih terjamin dengan kecanggihan teknologi membuat situasi makin mendukung kenyamanan perempuan.
Ulama modern pun punya jalan tengah, seperti Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah 3 (2017: 19) menguraikan, menurut pendapat yang masyhur dari kalangan Syafi’iyah, adanya suami, mahram, atau perempuan-perempuan yang dapat dipercaya untuk menemani seorang perempuan yang pergi haji merupakan hal yang disyaratkan.
Menurut sebagian pendapat, satu perempuan yang dapat dipercaya (untuk menemani perempuan yang melakukan haji) sudah cukup. Menurut sebagian pendapat yang lain -pendapat ini dinukilkan oleh Karabisi- perempuan boleh melakukan haji secara sendirian jika jalan yang menuju ke Tanah Suci dalam keadaan aman.
Bagian akhir inilah yang dapat menjadi jalan tengah dalam mencerna perbedaan pendapat kalangan ulama. Mau lebih aman, ya berhaji lebih baik bersama mahram! Akan tetapi kalau kondisi memang aman-aman saja muslimah tidak mesti bersama mahram.
Lagi pula jamaah haji Indonesia tidaklah benar-benar sendiri, karena berangkat bersama teman-temannya di kloter masing-masing. Selain itu banyaknya petugas haji Indonesia yang bersiaga di Tanah Suci membuat faktor keamanan kian meyakinkan.
KOMENTAR ANDA