KOMENTAR

Kemudian terjadilah percakapan antara dirinya dengan anak laki-laki yang lama dinanti-nantikannya. Buhaira makin yakin dengan pertanda itu, tatkala anak lelaki itu menolak berbicara atas nama berhala. Sejak belia Rasulullah memelihara dirinya dari kemusyrikan.

Setelah  yakin dengan diri Nabi Muhammad, maka Buhaira pun beralih kepada sang paman. Kelak percakapannya itu turut menyelamatkan kehidupan Nabi Muhammad dari kejadian buruk yang akan mencelakainya.

Said Ramadhan Al-Buthy dalam bukunya Fikih Sirah (2010: 53-54) menceritakan:

Buhaira berkata kepada Abu Thalib, “Apa hubungan Anda dengan anak muda ini?”

Abu Thalib menjawab, “Dia anakku.”

Buhaira berkata, “Tidak, dia bukan anakmu. Ayah anak ini pasti sudah meninggal dunia.”

“Sebenarnya dia keponakanku,” kata Abu Thalib.

“Lantas bagaimana nasib ayahnya?” sambung Buhaira.

Abu Thalib menjawabnya, “Ayahnya sudah meningggal dunia ketika ia masih dalam kandungan.”

“Engkau benar,” tukas Buhaira.

“Kalau begitu, sekarang juga segeralah engkau kembali ke negerimu. Jagalah anak ini, mereka pasti menimpakan hal yang sangat buruk padanya. Sesungguhnya, keponakanmu ini kelak akan mengemban sebuah perkara yang sangat besar.”

Sebagai rahib atau pendeta yang mendalami agama samawi, Buhaira mengerti tanda-tanda kenabian seseorang yang telah lama ditunggu-tunggu. Pertanyaan demi pertanyaan Buhaira bukan karena dirinya tidak tahu, melainkan hanyalah penguat keyakinan dirinya bahwa calon utusan Tuhan itu memang telah hadir.

Rombongan dagang kaum Quraisy itu pun meneruskan perjalanannya sampai Damsyik, di Negeri Syam. Di sana mereka menjual barang-barang dari Mekah lalu membeli pula barang-barang yang akan dijual di kampung halaman. Kendati masih muda, Nabi Muhammad turut bekerja membantu kesuksesan perniagaan pamannya.

Setelah selesai berdagang, Abu Thalib dengan cepat berkemas-kemas, dirinya berkeinginan segera pulang ke Mekah. Perjalanan pulang rombongan itu berjalan terkesan aman-aman saja, padahal ada bahaya yang mengancam keselamatan Nabi Muhammad.

Kehadiran anak laki-laki itu di Syam menarik perhatian berbagai pihak, yang juga memahami tanda-tanda kenabian. Dan di antara mereka ada pihak yang tidak menginginkan hadirnya nabi penutup, yang kemudian berkomplot untuk mencelakai anak laki-laki dari Quraisy tersebut.

Ibnul Jauzi dalam bukunya Al-Wafa Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad (2018: 115) menerangkan, beberapa orang Yahudi telah melihat Nabi dan mengenali keistimewaan beliau. Mereka ingin menangkap beliau. Lalu, mereka pergi menemui pendeta Buhaira dan melaporkan perihal anak itu.
Sang pendeta benar-benar melarang mereka. Seraya bertanya, “Benarkah kalian telah mengenali keistimewaannya?”

“Ya,” jawab mereka.

“Kalian tidak akan memperoleh kesempatan untuk menangkapnya. Percayalah kepadanya dan biarkanlah dia pergi,” ujar pendeta itu.

Buhaira telah berperan besar dalam sejarah kenabian Rasulullah, sebab dirinya juga menginginkan kehadiran risalah ilahiah untuk dunia yang lebih baik lagi. Setelah kepulangannya dari Syam, Nabi Muhammad tidak pernah lagi bepergian jauh ke luar negeri. Namun, Rasulullah mendapati tantangan hidup yang lain lagi di usianya yang masih belia.
 




Belum Ada Perang Seunik Perang Ahzab

Sebelumnya

Mukjizat Nabi pada Periuk Istri Jabir

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Sirah Nabawiyah