UMMU Aiman adalah saksi kunci betapa Rasulullah menjalani masa remaja dalam kehormatan dan kesucian diri, meskipun ketika itu risalah kenabian belum diturunkan kepadanya. Perempuan budak yang dipanggil oleh ibu oleh Nabi Muhammad itu menyaksikan anak yang diasuhnya tidak sedikit pun ternodai oleh kemaksiatan apalagi kemusyrikan masyarakat jahiliyah.
Masa remaja yang biasanya ditandai dengan kelabilan, ternyata tidak berlaku pada diri Rasulullah.
Ummu Aiman patutlah berbangga melihat anak yang tidak lahir dari rahimnya itu punya kepribadian yang tangguh sejak belia.
Kalau sudah ada perayaan yang heboh, biasanya yang muda-muda paling bersemangat. Lain halnya dengan Nabi Muhammad yang menjauhi perkumpulan macam itu disebabkan berkelindannya upacara dengan unsur keburukan. Dengan penuh haru, Ummu Aiman atau Barakah itu menceritakan kisah masa remaja beliau.
Ibnul Jauzi dalam buku Al-Wafa Kesempurnaan Pribadi Nabi Muhammad (2018: 112) menguraikan, ada sebuah patung yang bernama Bawwanah, yang dikunjungi dan diagungkan oleh orang Quraisy. Mereka menyembah berhala itu, menggunduli rambut mereka di sisinya, duduk di dekatnya seharian sampai malam. Ritual ini dilakukan sekali setahun.
Namun, Rasul menolak. Lalu beliau pulang dengan rasa gelisah dan takut. Bibi-bibinya berkata, “Apa yang terjadi padamu?”
Beliau berkata, “Aku takut menjadi gila.”
Mereka berkata, “Allah tidak akan mencobakan kamu dengan setan sebab pada dirimu terdapat sifat-sifat baik. Lalu, apa yang kau lihat?”
Beliau menjawab, “Pada setiap aku mendekati berhala, tampaklah olehku seorang laki-laki yang putih dan tinggi berteriak kepadaku, 'Hati-hati hai Muhammad, jangan kau sentuh itu!”
Ummu Aiman berkata, “Beliau tidak kembali menuju perayaan mereka sampai diangkat menjadi Nabi.”
Keteguhan Nabi Muhammad di masa mudanya dalam menjauhi kemusyrikan dan kemaksiatan makin terjaga berkat bimbingan malaikat, yang memberikan arahan agar tidak berdekatan dengan hal-hal yang buruk.
Suatu ketika nyaris saja anak remaja itu mendekati pesta musyrikin Quraisy yang diramaikan dengan perbuatan maksiat, minuman keras, perjudian dan lain sebagainya. Syukurnya, datang lagi kekuatan gaib yang membuat dirinya mengantuk hingga tertidur, dengan demikian selamatlah Nabi Muhammad dari kecamuk dosa dalam pesta tercela.
Lalu bagaimana beliau mengisi masa remajanya?
Tentulah dengan kegiatan yang bermanfaat bagi pencerahan batinnya dan juga menunjukkan bakti terhadap Abu Thalib dan Fatimah binti Asad.
Sekalipun dirinya anak yatim piatu yang teramat disayang, tidaklah membuat Nabi Muhammad menjadi manja atau bahkan sampai bersikap tidak tahu diri. Pada usia remaja, beliau pun mencari uang pemasukan dengan bekerja menggembalakan domba atau kambing. Dan jenis pekerjaan ini bukanlah urusan sembarangan, karena nabi-nabi terdahulu pun pernah menggembala domba-domba.
Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam bukunya Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 1 (2012: 84) mengungkapkan, Nabi Muhammad bersabda, “Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan dia pernah menggembala kambing.”
Lalu para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga?”
Beliau menjawab, “Ya, aku pernah menggembala kambing milik seorang penduduk Mekah dengan imbalan beberapa Qirath.”
Kelak setelah beliau resmi menjadi nabi utusan Allah, Rasulullah masih mengenang pekerjaannya semasa remaja yang menggembala domba. Kenangan itu membekas karena memberikan manfaat bagi perkembangan kepribadiannya. Begitu pun nabi-nabi terdahulu juga menempa diri mereka dengan menggembala domba, karena inilah pekerjaan yang luar biasa hikmahnya. Tidak sembarang orang yang mampu menunaikan tugas demikian dengan cara yang apik.
Moenawar Khalil dalam bukunya Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Volume 1 (2001: 81-82) menerangkan, beliau tidak merasa malu untuk bekerja menggembala lebih tegas buruh menggembala kambing milik orang Mekah dengan menerima upah yang tidak seberapa banyaknya. Karena bagaimana pun menggembala kambing tentu mengandung kepentingan besar.
Dalam riwayat lain, beliau bersabda, “Nabi Musa diutus dan dia seorang penggembala kambing, dan Nabi Daud diutus dan dia seorang penggembala kambing, dan aku diutus dan aku juga menggembala kambing ahliku di kampung Jiyad.”
Jadi Nabi menggembala kambing itu dalam hakikatnya, bukan dari kehendak beliau sendiri, melainkan dari kehendak Allah karena beliau adalah seorang calon (bakal) pemimpin umat.
Akhirnya dapatlah disadari, ternyata masa remaja Rasulullah dilalui dengan menggembala merupakan takdir teragung yang digariskan oleh Ilahi, sebagai suatu jalan lapang demi mulusnya penempaan diri seorang calon utusan Tuhan.
Abuddin Nata dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam (2022: 104) menerangkan, pada kegiatan pengembalaan ternak itu terdapat unsur-unsur pendidikan kepemimpinan, antara lain: path finding (mencari padang gembalaan yang subur), directing (mengarahkan atau menggiring ternak ke padang gembalaan), controlling (mengawasi agar tidak tersesat atau terpisah dari kelompik), protecting (melindungi dari hewan pemangsa dan pencuri) dan reflecting (memiliki saat merenungi alam, manusia dan Tuhan). Mungkin latar belakang seperti ini memang digariskan Allah kepada calon rasul yang akan mengemban risalah kenabian dan memimpin umat.
Ada ujian besar yang berhubungan dengan pekerjaan menggembala domba, karena pemiliknya tidak akan tahu kalau satu atau dua ekor dombanya ada yang hilang. Andai pun sang majikan menyadari ternaknya berkurang, penggembala dapat saja berkilah kalau domba tersebut diterkam binatang buas atau hilang tersesat di gurun luas. Dari sanalah penggembala dapat berbuat curang, mengambil keuntungan pribadi dengan diam-diam menjual domba-domba milik majikannya.
KOMENTAR ANDA