WAJAR bila ada pihak yang bertanya-tanya atau malah mempertanyakan bagaimana bisa anak remaja sudah terlibat peperangan. Karena, perang bukanlah sesuatu yang diharapkan, sebab hanya kehancuran yang dihasilkannya. Lantas, bagaimana bisa Nabi Muhammad telah terjun dalam peperangan bahkan ketika dirinya masih remaja?
Perang memang buruk. Namun, untuk mempertahankan diri dan menjaga kehormatan, maka perang merupakan pilihan yang harus diambil. Tidak mungkin dong kita hanya berdiam diri ketika musuh datang menyerang.
Lagi pula, di dalam peperangan pun ada nilai heroik dan sifat ksatria. Hal demikianlah yang menjadi hikmah dari keterlibatan Rasulullah dalam perang Fijar di usia muda.
Mustafa Khalid dalam buku The Greatest Story of Muhammad (2017: 10) menceritakan, pada usia belasan tahun (ada yang mengatakan 15 tahun ada yang mengatakan 20 tahun), Nabi Muhammad ikut dalam perang pertamanya, yaitu perang Fijar. Perang ini berlangsung selama 4 tahun, dan meski demikian, dalam satu tahun hanya terjadi beberapa hari saja.
Mengenai Nabi Muhammad sendiri, ada yang mengatakan tugasnya adalah mengumpulkan anak panah untuk diberikan kepada paman-pamannya hingga bisa digunakan kembali, ada juga yang mengatakan Nabi Muhammad ikut menembakkan panahnya. Dua-duanya bisa jadi benar.
Tuhan telah memutuskan nabi akhir zaman itu lahir di gurun yang terkenal ganas lingkungannya. Suku-suku di sana sudah terbiasa berperang, merebut berbagai sumber daya kehidupan yang memang amat terbatas di padang pasir. Allah Swt. punya tujuan agung mengutus nabi terkasihnya di lingkungan demikian keras.
Kelak, setelah resmi diangkat menjadi nabi, Rasulullah pun merasakan betapa besar manfaat pengalaman beliau di masa muda tatkala mengikuti perang Fijar. Karena dalam perjuangan dakwah Islam, Nabi Muhammad berkali-kali harus berperang demi mempertahankan agama Islam dari serbuan musuh-musuhnya.
Shawqi Abu Khalil dalam buku Atlas Jejak Agung Muhammad Saw. (2015: 33) menerangkan, kata Fijar memiliki akar kata yang sama dengan kata al-Mufâjarah yang berarti pecah atau meletus. Perang ini disebut Al-Fijar karena terjadi atau meletus pada bulan haram (bulan dilarangnya peperangan).
Perang Fijar terbagi dalam empat periode: Perang Fijar pertama berlangsung antara Kinanah dan Hawazin (Qais Ailan). Perang Fijar kedua berlangsung antara Quraisy dan Kinanah. Perang Fijar ketiga berlangsung antara Kinanah dan Bani Nadhar ibn Muawiyah. Perang Fijar keempat berlangsung antara Quraisy dan seluruh Kinanah serta Hawazin (Qais Ailan).
Suku-suku Arab di masa itu memuliakan bulan-bulan tertentu, yang mana mereka berikrar tidak melakukan peperangan pada bulan-bulan yang disucikan. Sayangnya, terjadilah pelanggaran atas ketentuan tersebut yang membuatnya disebut dengan perang Fijar (pelanggaran). Namun, keterlibatan Nabi Muhammad bukanlah melanggar ketentuan, melainkan membela diri dan keluarganya dari para pelanggar tersebut.
Pada usia muda beliau berperan sebagai pengumpul anak-anak panah, yang kemudian diserahkan kepada paman-pamannya dalam menghadapi serbuan musuh. Sepintas yang dilakukannya sepele tetapi mengandung bahaya, sehingga diperlukan kecerdikan. Andai gegabah dalam melangkah, salah-salah justru panah-panah yang beterbangan itu menancap di tubuhnya. Namun, anak remaja itu menunjukkan kecakapan mengagumkan dalam peperangan sekalipun. Biasanya di berbagai peperangan anak-anak yang sering menjadi korban, lain kisahnya dengan Rasulullah yang malah gagah berani di tengah pertempuran.
Kemudian hari, setelah beliau tumbuh menjadi pemuda perkasa, maka Nabi Muhammad pun turut beperang dengan melesakkan anak-anak panah menerjang musuh. Pengalaman berperang tersebut sudah menjadi skenario Ilahi demi memberikan pengalaman berharga pada usia belia.
Perang antar suku bagi masyarakat padang pasir mudah sekali meletus yang pemicunya mulai dari keisengan hingga kecurangan dalam memperebutkan sumber daya alam. Syair-syair Arab juga memuja kepahlawanan dari setiap anggota suku yang mati berperang. Hal ini pun menjadi penyemangat bagi anggota suku lainnya untuk mengobarkan perang kembali
Akhirnya, mereka pun menyadari perang tidak akan menghasilkan kemakmuran. Kehidupan gurun yang sudah sulit malah kian berat disebabkan peperangan. Para pedagang dan peziarah Ka’bah akan terus berkurang yang akan mengganggu perekonomian Mekah. Kalangan elit Quraisy mulai berkumpul merumuskan perjanjian yang melindungi kepentingan berbagai pihak.
Ibnu Hisyam dalam bukunya Sirah Nabawiyah (2019: 58) menerangkan, kabilah-kabilah Quraisy menyerukan untuk melakukan persekutuan. Untuk mewujudkan hal tersebut, mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an bin Amru bin Ka’ab, berdasarkan pertimbangan kemuliaan dan senioritasnya. Rapat persekutuan ini dihadiri oleh Bani Hasyim, Muthalib, Asad bin Abdil Uzza, Zuhrah bin Kilab dan Taim bin Murrah.
Mereka semua mengikat perjanjian sebagai berikut, kalau ditemukan ada orang yang terzalimi di Mekah, baik warga Mekah sendiri maupun orang luar yang sedang berada di Mekah, mereka harus membelanya. Mereka harus melawan si zalim sampai ia mengembalikan hak yang dizaliminya. Orang-orang Quraisy menamakan persekutuan ini Hilful Fudhul.
Rasulullah bersabda, “Aku menyaksikan persekutuan di rumah Abdullah bin Jud’an yang lebih kusukai daripada seekor unta merah. Andaikan aku diundang ke persekutuan semacam itu pada masa Islam, pasti akan kuhadiri.”
Hilful Fudhul merupakan kesepakatan perdamaian yang berupaya menegakkan keadilan bagi siapapun yang tertindas. Dan yang menakjubkan, pada usia belia Nabi Muhammad turut menghadiri kesepakatan yang demikian penting. Ini menunjukkan betapa pada hakikatnya Nabi Muhammad sangat mencintai perdamaian.
Perjanjian Hilful Fudhul mulai menenangkan situasi konflik yang sebelumnya memanas. Dengan adanya perjanjian tersebut, baik itu penduduk asli maupun pendatang sama-sama berhak atas perlindungan dari kejahatan.
Setelah perjanjian tersebut memang terjadilah beberapa kejahatan yang mana berbagai pihak merasa terzalimi. Namun, dengan adanya Hilful Fudhuul, hak-hak mereka pun dilindungi dan dikembalikan.
Pada buku Sejarah Keteladanan Nabi Muhammad saw. (2021: 110) diterangkan:
Beberapa tindakan atas pelanggaran kesepakatan itu telah ditangani oleh tim persekutuan ini. Pertama, seorang pedagang Yaman datang ke Mekkah dengan membawa barang dagangan yang kemudian dibeli oleh seorang dari Bani Sahm. Orang Bani Sahm yang mencederai janji itu bernama Ubay bin Khalaf. Lalu diadukan oleh penjualnya, Qais bin Syibbah as-Silmiy, kepada seorang Bani Juhm, tetapi ia enggan menolongnya.
Akhirnya ia berseru agar Bani Qushaiy menjaga kehormatan rumah suci Ka’bah. Seruan itu didengar oleh al-Abbas dan Abu Sufyan. Dua tokoh Quraisy ini berhasil memaksa Qais bin Syibbah as-Silmiy agar mengembalikan barang yang tidak mampu dibayarnya kepada yang berhak.
Kedua, pengaduan dari seorang pedagang kabilah Zabiid yang merasa dicurangi oleh al-‘Ash bin Waa-il as-Sahmi. Barang dagangannya dibeli tetapi dia tidak dibayar sesuai dengan haknya. Orang tersebut meminta bantuan kepada sekutu-sekutu al-‘Ash, tapi mereka mengabaikannya.
Akhirnya, dia menaiki Gunung Abi Qubais dan menyenandungkan syair-syair yang berisi kezaliman yang tengah dialaminya seraya mengeraskan suaranya. Zubair bin ‘Abdul Muthalib mendengar hal itu dan bergerak ke arah orang tersebut, lalu bertanya-tanya, “Mengapa orang ini tidak diacuhkan?”
KOMENTAR ANDA