INI kisah tentang anak ibu yang menjadi orang asing di kampung halaman ibu mereka.
Ketika perempuan Malaysia menikah dengan orang asing dan melahirkan anaknya di negeri orang, maka anak tersebut tidak diakui negara. Sang ibu tidak bisa memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka yang lahir di luar negeri karena konstitusi hanya memberikan hak kepada laki-laki Malaysia.
Salah satunya dialami Anisa (bukan nama sebenarnya), seperti dilaporkan Al Jazeera (3/8/2022). Setelah menikah dengan laki-laki asal Indonesia, ia dan sang suami menetap di Amerika Serikat. Dua putrinya lahir di Negeri Paman Sam.
Sepuluh tahun kemudian, ia memutuskan kembali ke Malaysia untuk lebih dekat dengan keluarga besarnya. Lalu lahirlah si bungsu. Si adik otomatis mendapat kewarganegaraan sementara kedua kakaknya berstatus "orang asing" yang harus memiliki visa sepanjang tinggal di Malaysia.
Lalu saat Malaysia memberlakukan pembatasan ketat di masa pandemi COVID-19, anak sulung Anisa hanya bisa mengajukan visa "kunjungan sosial" yang berlaku tiga bulan dan hanya boleh diajukan sebanyak tiga kali. Setelah itu, anaknya diharuskan meninggalkan Malaysia selama 30 hari sebelum mengajukan permohonan visa kembali.
Pilihan lainnya adalah segera mendaftarkan putrinya ke universitas swasta agar bisa menetap di Malaysia selama pandemi menggunakan visa pelajar. Sebuah pilihan yang membutuhkan biaya besar.
Anak ayah vs anak ibu
Pasal 14(1)(b) konstitusi Malaysia memberi ayah hak otomatis untuk memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka yang lahir di luar negeri—tetapi tida menyebutkan ibu.
Pada bulan Desember 2020, kelompok pembela hak asasi Family Frontiers Malaysia, bersama enam ibu dan pasangan serta anak-anak non-Malaysia maju ke pengadilan meminta hakim menafsirkan pasal tersebut sesui prinsip kesetaraan gender.
Meskipun Pengadilan Tinggi mendukung para ibu, hingga September lalu, pemerintah terus menentang kasus tersebut. Hasil banding terhadap keputusan Pengadilan Tinggi akan diumumkan pada 5 Agustus.
Pemerintah Malaysia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 1995 dan mengamandemen konstitusinya pada tahun 2001 untuk mengabadikan prinsip kesetaraan gender. Namun hal itu tidak tampak dalam urusan yang berhubungan dengan urusan kebangsaan.
Kelompok hak asasi internasional Equality Now menyatakan bahwa Malaysia adalah salah satu dari 28 negara di dunia yang masih mencegah perempuan memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka atas dasar kesetaraan.
Sebuah laporan PBB menyebutkan bahwa UU tersebut mencerminkan pandangan patriarki bahwa ayah harus mempunyai hak prioritas atas anak-anak dalam pernikahan.
Selama berpuluh-puluh tahun, para ibu yang melahirkan anak di luar negeri bergantung pada Pasal 15(2) konstitusi untuk mencoba mengamankan kewarganegaraan anak-anak mereka.
Pasal tersebut memungkinkan siapa pun yang berusia di bawah 21 tahun untuk mengajukan kewarganegaraan selama salah satu dari orangtuanya adalah warga negara Malaysia.
Sayangnya, pasal itu tidak menjamin semua permohonan disetujui kementerian dalam negeri. Persetujuan sangat jarang terjadi.
Sejak tahun 2013 hingga Maret tahun ini, hanya 117 berkas yang disetujui dari 4.870 pengajuan kewarganegaraan anak ibu yang lahir di luar negeri. Sebanyak 1.728 pengajuan ditolak, dan sisanya belum diputuskan.
Para ibu mengeluhkan prosedur yang tidak jelas dan memakan waktu. Prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun. Banyak ibu tidak mendapat alasan penolakan yang jelas dan tidak mendapat instruksi tentang pengajuan kembali.
Keluarga yang tidak utuh
UU yang tidak setara mempersulit para ibu dan anak-anak mereka, terlebih dalam rumah tangga yang bermasalah. Seorang ibu mungkin akan memilih tinggal di negara asal ayah anaknya, meskipun itu berarti tinggal dalam pernikahan penuh kekerasan, agar ia tidak terpisah dari anaknya.
Pun jika ibu memilih bercerai dan membawa anaknya kembali ke Malaysia, ia harus mengeluarkan uang banyak untuk pendidikan dan perawatan kesehatan buah hatinya yang dianggap orang asing oleh negara.
Ibu juga dibuat repot dengan pengurusan visa bagi anak di bawah usia tujuh tahun dan visa pelajar yang harus diperbarui setiap tahun.
Bagi anak yang lahir di luar negeri, ia bisa merasa berbeda dari ibu dan kakak atau adiknya yang lahir di Malaysia. Ada ketakutan bahwa ia suatu saat bisa dipisahkan dari ibunya lantaran berbeda status kewarganegaraan.
KOMENTAR ANDA