Sulitnya mengubah peraturan
Perubahan UU melalui parlemen dirasa sangat sulit dilakukan mengingat ketidakpastian dunia politik Malaysia dalam dua tahun terakhir.
September tahun lalu, Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur mendukung perempuan dengan memutuskan ibu Malaysia dapat memberikan kewarganegaraan kepada anak-anak mereka yang lahir di luar negeri.
Namun pemerintah kemudian mengajukan banding atas keputusan tersebut, dan ditolak pada Desember tahun lalu. Alhasil, pemerintah menerbitkan dokumen kewarganegaraan untuk anak-anak dari enam penggugat. Sayangnya pemerintah tidak melakukan hal yang sama terhadap ibu-ibu lainnya.
Pada 19 Juli, menteri dalam negeri mengatakan kepada parlemen bahwa ada 591 pengajuan bagi anak-anak yang lahir di luar negeri antara tahun 2021 hingga Juli tahun ini. Dari jumlah tersebut, baru 33 dokumen yang diselesaikan.
Komite parlemen baru kemudian dibentuk untuk mempelajari masalah amandemen konstitusi yang berpihak pada ibu. Menurut pemerintah, amandemen tahun 2001 tentang kesetaraan gender tidak mencakup kewarganegaraan dan masalah kewarganegaraan berada di luar yuridiksi pengadilan.
Family Frontiers melihat tidak ada itikad baik pemerintah. Di satu sisi, pemerintah menunda persidangan dan tidak menghormati keputusan pengadilan. Dan di saat yang sama, pemerintah juga tidak bergerak maju dalam amandemen konstitusi.
Dukungan bagi para ibu
Banyak orang mempertanyakan sikap keras pemerintah padahal sejumlah tokoh lintas politik dan etnis secara terbuka mendukung para ibu.
"Saya tidak mengerti, apakah perempuan di negara ini punya cacat yang lebih banyak dari laki-laki?" tanya Azalina Othman Said, Kepala Komite Pemilihan Parlemen untuk Perempuan, Anak-Anak, dan Pembangunan Sosial, di hadapan para wakil rakyat tahun lalu.
Sementara itu, Komisioner Anak-Anak Komisi HAM Malaysia Noor Aziah Mohd Awal mengatakan sikap pemerintah mencerminkan sikap diskriminatif terhadap perempuan Malaysia yang menikah dengan laki-laki asing. "Ini pola pikir kuno bahwa perempuan akan dieksploitasi dan dinikahi demi mendapat kenyamanan."
Sebelumnya, wakil menteri dalam negeri Malaysia menyatakan bahwa anak yang lahir di luar negeri bisa memiliki kewarganegaraan ganda—sebuah hal yang ilegal di Malaysia—dan diharuskan memilih saat berusia 21 tahun. Hal itu dianggap menimbulkan ancaman keamanan nasional.
Pertanyaannya kemudian adalah: Ancaman nasional seperti apa? Mereka lahir dari ibu Malaysia, sama seperti mereka lahir dari ayah Malaysia. Mengapa anak-anak ayah tidak dianggap sebagai ancaman nasional?
Ya, perjuangan para ibu di Malaysia belum selesai. Mari berharap keadilan akan mendatangi mereka pekan ini.
KOMENTAR ANDA