Al-QUR’ AN menyebutnya istri Imran, dengan tidak menerangkan siapa namanya. Memang begitulah cara kitab suci menyampaikan pesan-pesan mulia, bahwa yang terpenting bukan siapa orangnya melainkan apa plusnya.
Kemudian, pada ilmuan atau pakar tafsir pun menyebut-nyebut nama istri Imran ini. Seperti Sayyid Muhammad Shiddiq Khan dalam buku Al-Qur'an dan As-Sunnah Bicara Wanita (2001: 40) menyebutkan, istri Imran itu bernama Hanah binti Faqud, ibu Maryam yang berarti nenek Isa.
Sedangkan Imran adalah anak Basyam, kakek Isa dan bukan seorang nabi.
Tersebutlah dalam kitab suci, istri Imran punya niat yang menggetarkan hati, tatkala mengandung dia memasang nazar. Hanah binti Faqud mengikrarkan janji pada Ilahi, kelak setelah anaknya lahir akan diserahkan untuk mengabdi di rumah Allah, Baitul Maqdis.
Ali Imran ayat 35, yang artinya, “(Ingatlah) ketika istri Imran berkata, ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada-Mu apa yang ada di dalam kandunganku murni untuk-Mu (berkhidmat di Baitul Maqdis). Maka, terimalah (nazar itu) dariku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Wahbah az-Zuhaili pada Tafsir al-Munir Jilid 2 (2021: 248) menerangkan, tatkala istri Imran yang merupakan wanita mandul dan sangat merindukan seorang anak, mengucapkan doa kepada Allah Swt. agar dirinya dikaruniai anak. Lalu Allah Swt. pun memperkenankan doanya tersebut.
Ketika dirinya nyata-nyata telah hamil, ia berkata, “Tuhanku, hamba menawarkan janin yang ada di dalam kandungan ini hanya untuk-Mu semata, menjadikannya orang yang menyerahkan hidupnya untuk beribadah dan berkhidmat di Baitul Maqdis.” Nazar seperti ini hukumnya boleh menurut syar’i yang berlaku waktu itu dan wajib bagi si anak untuk patuh.
Sesuai dengan syariat yang berlaku di zaman tersebut, maka nazar yang diikrarkan oleh istri Imran itu sah-sah saja. Terlebih janji terhadap Ilahi itu tidak terlepas dari kebahagiaan mendapati dirinya hamil, atau berhasil menjadi seorang perempuan sejati berkat rahmat Ilahi.
Berhubung anaknya merupakan karunia Tuhan maka buah hati tersebut dipersembahkan kembali untuk mengabdi kepada Allah Swt. Nazar itu pun teramat jelas, kelak anaknya akan mengabdi di Baitul Maqdis.
Nazar itu merupakan bentuk kecintaan tertinggi istri Imran terhadap Allah Swt. Janji kepada manusia saja wajiblah ditepati, apalagi nazar yang diikrarkan terhadap Tuhan. Hanya saja, setelah persalinan, alangkah terkejutnya istri Imran melihat anak yang dilahirkannya. Dia tidak menyangka dengan apa yang terhampar di depan matanya.
Kesedihan yang melanda Hanah binti Faqud bukanlah karena bayinya mengalami cacat, melainkan karena yang dilahirkannya adalah anak perempuan.
Surat Ali Imran ayat 36, yang artinya, “ Ketika melahirkannya, dia berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan.’ Padahal, Allah lebih tahu apa yang dia (istri Imran) lahirkan. ‘Laki-laki tidak sama dengan perempuan. Aku memberinya nama Maryam serta memohon perlindungan-Mu untuknya dan anak cucunya dari setan yang terkutuk.”
Ya, kita sama-sama maklumlah kehidupan di masa itu, di mana kedudukan perempuan belum dihargai sebagaimana layaknya lelaki. Sementara istri Imran itu ingin mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhan, tetapi yang lahir malah anak perempuan.
Pilihan terhadap jenis kelamin merupakan keputusan Ilahi. Demikian pula halnya dengan keagungan Allah Swt. yang terlihat dengan memberi Hanah binti Faqud seorang putri. Istri Imran tidak dapat menyembunyikan kesedihan, akan tetapi tidak ada yang punya kuasa menolak kehendak Tuhan.
Wahbah az-Zuhaili pada Tafsir al-Munir Jilid 2 (2021: 248) menerangkan, tatkala bayi yang dilahirkan adalah perempuan, maka istri Imran merasa bersedih dan berkata, “Sesungguhnya saya melahirkan anak perempuan.”
Kesedihan ini dikarenakan anak yang dinazarkan untuk berkhidmat di Baitul Maqdis seharusnya adalah anak laki-laki. Karena anak perempuan mengalami datang bulan dan melahirkan. Oleh karena itu, tidak cocok untuk melakukan tugas tersebut.
Namun, Allah Swt. Maha Tahu apa yang ia lahirkan dan kedudukannya. Hal ini mengandung sebuah bentuk pengagungan dan penghormatan terhadap kedudukan dan peran wanita. Dan anak laki-laki yang ia harapkan tidak sama dengan anak perempuan dalam hal kekuatan, keuletan dan ketabahan di dalam ibadah dan berkhidmah di Masjid al-Aqsha. Akan tetapi, anak perempuan yang ia lahirkan lebih baik daripada anak laki-laki yang sebelumnya ia harapkan.
Tidak setiap insan mampu dengan cepat menyibak rahasia Ilahi dalam penciptaan-Nya. Kesedihan istri Imran dapat dimaklumi disebabkan besarnya keinginan perempuan itu mempersembahkan yang terbaik untuk memenuhi nazarnya. Namun, di balik harapan sang ibunda yang tidak jadi kenyataan itulah sebenarnya Allah memberikan suatu anugerah yang lebih dahsyat.
Kegalauan hati istri Imran terkait dengan anak perempuannya diterangkan dengan baik oleh M. Mutawalli asy-Sya’rawi dalam buku Cinta Untuk Sang Istri (2014: 45-46):
“Ya Tuhanku, aku telah melahirkan anak perempuan,” atau dengan kata lain dia berkata, “Ya Tuhan, anak laki-laki tidak seperti anak perempuan dan anak perempuan tidak cocok untuk mengabdi kepada Baitul Maqdis.”
Arti yang pertama menunjukkan bahwa Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya engkau menghendaki anak laki-laki seperti yang engkau pahami untuk memenuhi nazarmu. Namun, Aku akan mengaruniai tanda yang lebih besar dari sekadar mengabdi kepada Baitul Maqdis. Aku menghendaki dengan tanda yang akan Aku karuniakan kepada anak perempuan ini untuk mendukung akidah, bukan hanya sekadar mengabdi kepada tempat beribadah yang di sana ada syiar-syiar agama."
Secara kekuatan fisik, ketangguhan perempuan tidaklah sama dengan lelaki. Belum lagi perempuan di saat itu yang akan mengalami pembatasan sosial yang membuat kiprahnya akan tersendat.
Namun, Allah punya skenario luar biasa, maka jadilah yang dilahirkan oleh istri Imran adalah seorang anak perempuan, yang diberi nama Maryam. Sesuai dengan nazar ibunya, maka Maryam pun dibuatkan ruangan khusus dekat mihrab Baitul Maqdis. Sejarah mencatat betapa Maryam menjadi ibu dari seorang utusan Tuhan yang menakjubkan pengaruhnya di dunia, yaitu Nabi Isa.
Seandainya yang dilahirkan oleh istri Imran itu anak laki-laki, maka dia tidak akan mampu mengemban misi mulia mengandung Nabi Isa. Sekiranya yang dilahirkan oleh istri Imran adalah anak laki-laki, maka putranya itu hanya mengabdi pada Tuhan dalam syiar-syiar agama di Baitul Maqdis belaka, tidak akan mampu mengimbangi perjuangan dan pengorbanan Maryam.
KOMENTAR ANDA