Maka tersenyumlah sang ibu. Tuhan yang memberi petunjuk agar menghanyutkan putranya ke sungai, dan Tuhan pula yang memberikan perlindungan.
Sang ibu berkata, “Asiyah perempuan yang beriman. Adikmu telah aman.”
Tatkala melihat istrinya menggendong bayi laki-laki, Firaun pun murka dan memerintahkan agar segera dibunuh. Dia beralasan, “Boleh jadi bayi itu dari Bani Israil!”
Cinta yang telah mendalam membuat Asiyah membelanya dengan gagah berani. Sehingga malapetaka terburuk tidaklah menimpa bayi tersebut, dan memulai kehidupannya di istana raja Mesir.
Sudah banyak perempuan didatangkan, tetapi bayi lelaki itu tak kunjung mau menyusu. Asiyah menjadi khawatir dengan keselamatannya.
Gadis belia itu ternyata masih saja mengintai dengan lihai. Dia mengamati adiknya secara diam-diam, dan menyadari bayi itu membutuhkan ASI.
Dia pun menemui Asiyah dan berkata, “Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?”
Permaisuri raja pun setuju hingga didatangkanlah seorang perempuan. Ajaibnya, bayi lelaki itu pun langsung menyusu dengan lahapnya. Gadis itu menyimpan rapat-rapat suatu rahasia; bayi tersebut adalah adiknya dan perempuan itu adalah ibunya. Mereka kembali dipertemukan Allah Swt. secara ajaib di istana Fir’aun tetapi dipayungi keselamatan dari Ilahi.
Kemudian hari, bayi itu tumbuh besar dan dilantik menjadi seorang nabi, yang berhasil mengalahkan Firaun serta menghentikan kekejamannya. Dia adalah Nabi Musa.
Sosok gadis belia itu diterangkan pada surat Thaha ayat 40, yang artinya, “Ketika saudara perempuanmu berjalan (untuk mengawasi dan mengetahui berita), dia berkata (kepada keluarga Fir‘aun), ‘Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?’ Maka, Kami mengembalikanmu kepada ibumu agar senang hatinya dan tidak bersedih.”
Berhubungan dengan ayat ini, ditafsirkan oleh M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Jilid 7 (2011: 586) sebagaimana berikut:
Wahai Musa, ketahuilah anugerah dan pertolongan Kami kepadamu, yaitu ketika saudara perempuanmu berjalan di sekitar istana tempat di mana engkau ketika itu berada setelah dipungut. Dia berjalan untuk mengetahui beritamu dan ketika ia mengetahui bahwa engkau enggan menyusu maka ia berkata kepada keluarga Fir’aun, “Bolehkah aku menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya, yakni menyusukan dan memerhatikan keadaan dan kebutuhannya?”
Mereka pun setuju, lalu saudara perempuanmu itu mengajak ibumu dan engkau pun langsung menyambut air susunya. Maka, dengan demikian, Kami mengembalikanmu ke pangkuan ibumu agar senang hatinya memeliharamu tanpa rasa takut atau bersembunyi-sembunyi dan agar dia atau engkau tidak berduka cita atas kejauhanmu setelah dilempar ke sungai.
Menarik sekali cara Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas, suatu penafsiran yang merupakan gambaran tentang ungkapan dari Tuhan kepada Nabi Musa. Ternyata, di balik perjuangan besar dirinya, ada peran seorang gadis belia yang mengamatinya tatkala dihanyutkan, yang memastikan bayi itu selamat di istana raja lalim.
Kecerdikan gadis belia itu juga berperan besar dalam keberhasilan sejarah perjuangan dakwah Nabi Musa. Dia merupakan pelaku sejarah, yang mengawal Nabi Musa sedari bayi. Gadis belia itu bersedih atas kondisi adiknya, tetapi tanpa larut dalam kecamuk perasaan, dirinya berhasil menunaikan tugas mulia.
Bey Arifin dalam buku Rangkaian Cerita Dalam Al-Qur’an (1952: 156-157) menceritakan:
Dengan hati yang tenang dan sabar, bayinya dimasukkan ke peti, lalu dihanyutkan ke sungai Nil. Bayi yang hanyut itu diiringi tatapan mata sedih oleh saudara perempuan Nabi Musa sendiri, untuk mengetahui ke mana perginya bayi itu nantinya.
Alangkah kaget saudara perempuan dan ibu Nabi Musa ketika diketahuinya, bahwa peti yang membawa bayinya itu terhenti di hadapan istana Fir’aun, lalu diambil oleh istri Fir’aun.
Tetapi Allah lebih kuasa. Baru saja istri Fir’aun melihat wajah bayi yang hanyut terkatung-katung dengan sebuah peti di dalam sungai, timbul cinta kasih dalam hatinya terhadap bayi itu.
Lalu anak itu diambil dan digendongnya, dibawa dan diperlihatkan kepada suaminya, Fir’aun dengan berkata, “Saya suka kepada anak ini, mari dia kita jadikan anak kita sendiri.”
Kakak perempuannya dengan berani mengikuti peti yang hanyut, dengan risiko jika ketahuan dirinya akan ditangkap prajurit Fir’aun. Namun, dia adalah seorang gadis yang pintar, sehingga selama memantau peti itu dirinya tetap menjaga kerahasiaan, bergerak lincah secara sembunyi-sembunyi.
Kecekatan dirinya menjadi patut diancungi jempol, mengingat yang melakukannya dengan rapi adalah seorang gadis muda belia, sementara yang dihadapinya adalah raja Fir’aun dengan perangkat pasukan terlatih. Mereka semua tidak mampu menyingkap rahasia seorang gadis yang bergerak licin melebihi belut.
Kecerdasannya kian kentara tatkala melanjutkan pengintaian justru di istana Fir’aun, betapa dirinya amat berani dan cerdik menyiasati keadaan. Siapapun layak berdecak kagum betapa seorang gadis belia mampu lolos dari kecurigaan antek-antek raja.
Dan berkat lobi-lobi gadis muda itu pula, makanya Asiyah pun menerima seorang perempuan untuk menyusui bayi laki-laki yang ditemukan di dalam peti. Alhasil, bayi itu malah menyusu dengan ibu kandungnya. Dia selamat justru di istana yang paling berbahaya.
Dengan demikian, tidak perlu diragukan lagi, memang sudah sepantasnya gadis belia itu dicantumkan dalam kitab suci, yang akan terus dibaca, ditelaah dan ditafsirkan hingga akhir masa.
Akhirnya, di balik kejayaan seorang lelaki, bukan hanya Nabi Musa, ternyata ada kekuatan perempuan yang membela, melindungi dan mengasihinya.
KOMENTAR ANDA